Aksi Premanisme Membuat Kegiatan Bisnis di Indonesia Terancam Rugi Hingga Rp 2.200 Triliun: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Sifi Masdi

Tuesday, 29-04-2025 | 17:25 pm

MDN
Ilustrasi aksi premanisme yang mengganggu kegiatan investasi [ist]


 

 

Jakarta, Inakoran

Aksi premanisme di Indonesia kini bukan sekadar ancaman sosial, tetapi telah menjelma menjadi batu sandungan besar bagi iklim bisnis dan investasi. Kasus terbaru menimpa dua pabrik kendaraan listrik asing di Subang, Jawa Barat—BYD dan Vinfast—yang dilaporkan menjadi sasaran tekanan dari organisasi kemasyarakatan (ormas).

 

Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menjadi salah satu pihak yang mengungkap kabar ini, meski tidak merinci nama ormas yang terlibat. Pernyataan serupa juga datang dari Ketua Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo), Moeldoko. Mantan Kepala Staf Kepresidenan itu mengaku telah menerima laporan langsung soal gangguan ormas terhadap Vinfast, perusahaan otomotif asal Vietnam.

 

Fenomena ini bukan hal baru. Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, sebelumnya juga menyoroti maraknya aksi ‘minta jatah’ oleh oknum ormas di kawasan industri. Laporan resmi pun telah disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto. Sayangnya, belum terlihat upaya konkret dari pemerintah untuk menindak tegas aksi-aksi semacam ini.

 

Gagal Menyerap Tenaga Kerja Formal

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, mengungkapkan bahwa  maraknya ormas dan premanisme berakar dari kesenjangan dalam penyerapan tenaga kerja formal. Banyaknya angkatan kerja yang tak terserap sektor formal membuat sebagian masyarakat beralih ke pekerjaan informal, bahkan terlibat dalam aktivitas ormas yang menyimpang.

 


BACA JUGA:

Harga Minyak Terkoreksi 0,4%:  Dampak Kekhawatiran Penurunan Permintaan Global

Harga Emas Antam Naik Rp6.000 per Gram: Selasa (29/4/2025)

Sri Mulyani: RI Lakukan 5  Kesepakatan dengan AS Soal Tarif


 

"Ormas menjadi tempat berkumpulnya individu untuk menjalankan fungsi informal seperti pengamanan lahan, mobilisasi massa, hingga perlindungan politik. Permintaan atas jasa-jasa seperti ini cukup tinggi, sehingga ormas tumbuh subur," ujar Andry.

 

Lebih jauh, Andry menilai aktivitas premanisme ini masuk dalam kategori shadow economy atau ekonomi bayangan—kegiatan ekonomi yang tidak tercatat secara resmi. Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kontribusi shadow economy terhadap PDB Indonesia mencapai 8,3% hingga 10%. Dengan total PDB Indonesia sekitar Rp22.000 triliun, maka potensi kerugian akibat shadow economy bisa mencapai Rp2.200 triliun.

 

Iklim Investasi Terancam

Jika premanisme terus dibiarkan, Andry memperingatkan bahwa para investor asing bisa kehilangan kepercayaan dan memilih hengkang. Bagi investor, kepastian hukum dan biaya investasi yang dapat diprediksi adalah faktor utama. Ketika ormas menjadi beban tambahan di luar regulasi resmi dan negara gagal memberikan perlindungan hukum, maka investasi tidak lagi menarik.

 

"Ini menjadi red flag bagi investor. Premanisme menciptakan ketidakpastian biaya dan risiko hukum yang tinggi. Tanpa tindakan tegas dari aparat dan negara, iklim investasi akan rusak," tegasnya.

 

Andry juga menyinggung kurangnya ketegasan dari Presiden Prabowo. Ia menilai belum ada pernyataan atau arahan jelas dari Presiden terkait pemberantasan premanisme. Padahal, praktik pungli dan tekanan dari ormas termasuk dalam bentuk kebocoran ekonomi yang sering dikritik Presiden sendiri.

 

Senada dengan Andry, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, melihat akar persoalan juga berada di ranah politik lokal. Menurutnya, banyak ormas justru tumbuh subur karena "dibekingi" oleh para kepala daerah atau elit lokal yang menggunakan mereka sebagai alat kekuasaan.

 

Faisal menekankan perlunya perubahan pola pikir para pemimpin daerah. Mereka harus mengesampingkan keuntungan sesaat dari pungli atau tekanan terhadap investor. Sebaliknya, mereka harus memahami bahwa investasi adalah proses jangka panjang yang dapat memberikan manfaat besar bagi seluruh warga daerah.

 

"Pemimpin daerah perlu membantu menegakkan aturan dan menindak tegas ormas-ormas yang merusak sistem investasi. Tanpa itu, mustahil menciptakan iklim bisnis yang sehat," ujarnya.



 

 

KOMENTAR