Analisis Pembanding Majalah Tempo Tentang Populisme Politik Dan Dedi Mulyadi

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Terlalu sederhana dan simplistis majalah mingguan "Tempo" edisi 19 Mei 2025 memframing Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat sebagai "reinkarnasi" dari gaya populisme politik Jokowi, Presiden RI ke 7 sehingga Dedi Mulyadi disebut "Mulyono jilid II".
Mulyono adalah sebutan pejoratiif, "nyinyir"'dan negatif untuk Jokowi dari para "oposan" dan lawan atau pihak yang berseberangan secara politik dengan Jokowi.
Majalah "Tempo" edisi tersebut dengan cover depan memuat karikatur foto Dedi Mulyadi berjudul "Habis Mulyono Terbitlah Mulyadi" menulis :
"Dedi Mulyadi adalah cermin dari masa lalu kita yang belum selesai. Ia mengulang pola lama dari popularitas instan, kebijakan impulsif hingga kekuasaan yang terlalu sayang dengan kamera. Kita tidak sedang melangkah ke depan, kita berputar dari orbit lama, dari Jokowi ke Dedi".
Dalam teori populisme Benjamin Moffit, ilmuan politik Monash University memang ada kesamaan antara Jokowi dan Dedi Mulyadi dalam gaya komunikasi politik yang disebutnya "repertoar penampilan".
Yakni komunikasi politik dengan ciri ciri "merakyat", tampil melawan arus mainstream penampilan pejabat yang serba protokoler, serba ingin dilayani dan prosedural dalam rapat rapat - diupload dalam desain konten yang menggugah.
Perbedaannya Jokowi lebih menonjol dalam tampilan fisik sederhana dengan diksi dan narasi politik sangat terbatas tapi memiliki daya tahan begitu kuat bahkan mungkin sengaja membiarkan dirinya "dicaci maki" para elite. Ia tidak menyerang balik untuk merebut ruang simpati publik.
Kebijakan Jokowi cenderung bersifat "karikatif" dan memanjakan belas kasihan kepada publik dengan pembagian bantuan bantuan langsung bahkan ia bawa sendiri dalam sorot kamera tanpa mengganggu "kemewahan" anggaran yang diatur dan dinikmati para "elite" lainnya.
Sementara di sisi lain populisme Dedi Mulyadi lebih dari sekedar dalam tampilan sederhana, tidak protokoler dan turun langsung tidak berjarak dengan rakyat akar rumput sebagaimana gestur populisme politik Jokowi.
Tapi lebih dari itu ia memimpin Jawa Barat, provinsi dengan populasi penduduk terbesar di Indonesia dengan terobosan kebijakan yang berani. Inilah kepemimpinan "Psychological Striking Force", mengutip diksi (Alm) Prof Nurcholish Madjid.
Yaitu kepemimpinan politik yang digerakkan "daya pukul psyichologis" untuk menghentakkan kesadaran bersama tentang bernegara yang rasional dan bertumpu di atas maslahat publik.
Ia begitu percaya diri dan cepat mengambil kebijakan besar misalnya membongkar politik anggaran yang tidak kredibel dengan resiko "mengganggu" kenikmatan anggaran para elite politik selama ini mereka nikmati dalam memainkan anggaran untuk kepentingan bersifat politis
Hentakan kebijakannya merubah paradigma kerja birokrasi dengan kecepatan tinggi, tidak stagnan dalam prosedur rapat rapat misalnya dalam eksekusi "pemutihan" pajak kendaraan dan pembongkaran villa villa di daerah resapan air untuk menanggulangi potensi banjir tahunan.
Dengan kata lain, Dedi Mulyadi tidak sekedar piawai bermain "konten" di media sosial untuk mempromosikan diri secara personal tetapi ia hadir membawa kebijakan kebijakan yang menghentak di ruang publik dan relasional dengan kebutuhan maslahat publik.
Ia tampil dengan kekuatan gagasan dan pesan yang mencerminkan nilai nilai, visi dan misi yang diusungnya sehingga publik mudah mengasosiasikan diri bahwa Dedi Mulyadi adalah figur politik harapan dan rujukan keteladanan publik .
Artinya, ia tdak sekedar "blusukan" dalam irama "konten" yang disorot kamera untuk mendengar berbagai persoalan sosial tapi juga memiliki kekuatan visi dan gagasan dalam terobosan kebijakan kebijakan hingga membentuk kekuatan relasi emosional dengan persepsi pemilih.
Ia meletakkan aktivitas politiknya dalam "konten konten" kreatif sebagai keniscayaan strategi komunikasi politik di era media sosial untuk akselerasi tujuan tujuan pembangunan yang hendak dicapainya.
Jadi, kepiawaian memainkan "konten" di media sosial hanyalah strategi komunikasi politik dan cara mengekspresikan kompetensi kepemimpinannya lewat kebijakan kebijakan yang maslahat bagi publik
Itulah sedikit analisis pembanding penulis terhadap gambaran majalah "Tempo" diatas dalam perspektif membaca populisme politik antara Jokowi dan Dedi Mulyadi,
Satu sisi populisme Jokowi lebih menghadirkan kesederhanaan dalam tampilan fisik yang tidak protokoler dan dekat dengan rakyat disertai kebijakan kebijakan "populis" berupa bantuan bantuan sosial secara langsung
Di sisi lain populisme Dedi Mulyadi selain tidak protokoler juga menghadirkan kebijakan yang berorientasi maslahat publik dalam proporsi berkeadilan sosial betapa pun ia harus berhadapan dengan para elite politik lain yang terganggu "kemewahan"nya selama ini dalam memainkan anggaran.
Aktivisme politik Dedi Mulyadi yang panjang dalam pergumulan intelektualitas secara intens telah membentuknya memahami politik anggaran secara mendalam dan peta problem sosial masyarakat Jawa Barat yang dipimpinnya dengan kekuatan karakter kepemimpinannya yang "risk taker", berani mengambil resiko.
Pertanyaannya apakah Dedi Mulyadi dengan tipologi populisme kepemimpinan politik di atas akan menjadi "rising star" dalam dinamika kontestasi pilpres 2029 sebagaimana dulu Jokowi berhasil "menyihir" publik dengan kesederhanaan tampilan fisiknya hingga terpilih menjadi pucuk pimpinan nasional ?
Terlalu dini setidaknya dalam perspektif penulis untuk menjawab pertanyaan di atas meskipun perbincangan di ruang ruang media sosial tentang kepemimpinan Dedi Mulyadi telah menjadi "trend" lintas provinsi dan menyedot perhatian publik
Bahkan ILC (Indonesian Lawyer Club), sebuah talkshow politik nasional dengan host jurnalis senior Karni Ilyas mengangkat Dedi Mulyadi sebagai "judul" diskusi dalam peta politik nasional. Itulah fenomena populisme politik Dedi Mulyadi. Ngeri ngeri sedap.
Tugas kita saat ini bagaimana mengawal kepemimoinan populis Dedi Mulyadi secara kritis untuk terus terjaga di jalan "istiqomah" kepemimpinan politik yang maslahat bagi publik.
Kepemimpinan politik hanya bernilai mulia jika "tashorruful imam ala Al roiyah manutun bil maslahah", membawa maslahat publik bukan tampilan populis dan "flexing" secara narsis di media sosial.
TAG#ADLAN
200082112

KOMENTAR