Catatan 100 Hari Dedi Mulyadi dan Tantangan Turbulensi Demokrasi

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Catatan100 hari Dedi Mulyadi sejak dilantik 26 Pebruari 2025 kehadirannya sebagai Gubernur Jawa Barat telah terbukti melakukan gebrakan dalam politik anggaran dan kebijakan populis. Diapresiasi publik dan dipuji kinerjanya oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Pujian tersebut disampaikan Mendagri Tito Karnavian saat memimpin rapat koordinasi percepatan realisasi APBD tahun 2025 yang disiarkan secara langsung melalui akun YouTube Ditjen Bina Keuangan ("kompas com", 8/5/2025).
Menurut Mendagri Jawa Barat sangat baik dalam realisasi pendapatan 32 persen. Prestasi,dan kinerjanya tak bisa dibantah. Pembelanjaan Jawa Barat 21,91% juga tertinggi dari seluruh Provinsi di Indonesia. "Artinya, uang beredar untuk stimulus ekonomi", ujar Mendagri
Di sisi lain fenomena Dedi Mulyadi yang melambung tinggi di jagat media sosial tak dipungkiri telah menghadirkan bukan saja sikap pro dan kontra atas sejumlah kebijakannya, bahkan potensial memunculkan "turbulensi" dan goncangan demokrasi di antara pendukung "terlalu cinta" Dedi Mulyadi versus lawan politik dengan kebencian ekstrim.
DIi era Jokowi versus Prabowo dalam pilpres 2014 & 2019 algoritma digital berhasil menciptakan "musuh musuh" politik buatan dalam konflik konflik tajam dengan panggilan buruk "binatangisme politik", yakni "kadrun" versus "cebong'.
Kedua "kubu" saling tukar tambah ujaran kebencian, jual beli fitnah dan hoax secara konfliktual, piawai memproduksi vidio vidio pendek dengan judul saling provokatif, sangat merusak sendi sendi integrasi kebangsaan.
Fenomena Dedi Mulyadi saat ini di ruang ruang algoritma digital mulai mirip mengarah pada situasi apa yang pernah terjadi dalam kontestasi pilpres 2014 dan 2019 di atas, sangat potensial menimbulkan turbulensi demokrasi.
Demokrasi sebagai konsensus jalan politik bersama untuk perjuangan implementasi keadilan sosial kini diuji kembali kematangannya di ruang ekspresi pendukung cinta buta Dedi Mulyadi versus penbenci ekstrem dalam algoritma digital.
Bagi para pembencinya Dedi Mulyadi selalu tertuduh dan dituduh "kafir", "musyrik" sesat dan menyesatkan hanya karena ekspresi keagamaannya sangat "nyunda", kental dengan atribut atbirut dan simbol simbol tradisi budaya lokal.
Ia diframing dalam vidio vidio pendek dengan narasi narasi provokatif bahwa ia telah melakukan sesembahan ala "animisme" tapi abai bahwa Dedi Mulyadi sangat fasih meletakkan prinsip ajaran Islam seperti zakat dalam distribusi keadilan bernegara.
Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi dalam ekspresi keagamaannya adalah cara mengintegrasikan ajaran agama dalam konteks budaya (lokal) seperti dulu ditegaskan bung Karno :
"Kalau jadi orang hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang Islam jangan jadi orang arab, kalau jadi orang kristen jangan jadi orang jahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini", tegas bung Karno.
Dalam konteks Islam Gus Dur menegaskan, "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab, bukan "aku" menjadi "ana", bukan "sampean" menjadi "antum". Pertahankan apa yang kita miliki, kita serap ajarannya bukan budaya arabnya", tulis Gus Dur.
Sayangnya dii sisi lain para "loyalis" Dedi Mulyadi tak kalah ekstrem merespon tuduhan di atas. Kemenangan Dedi Mulyadi dalam konstelasi pilkada Jawa Barat 2024 meraih sebesar 61% suara dibaca para loyalisnya seperti "Cokro TV" sebagai "Kemenangan Kang Dedi, Sunda Wiwitan Tundukkan Pemuja Habaib" (4/12/2024).
Perspektif "Cokro TV" ini sangat berbahaya menarik narik kemenangan kontestasi politik Dedi Mulyadi dalam perspektif "politik identitas", yakni "Sunda Wiwitan" versus "Habaib" , cenderung adu domba dan rasis, justru makin merusak proses integrasi kebangsaan.
Temuan LSI Deni JA tentang kemenangan Dedi Mulyadi sama sekali tidak terkait dengan pertarungan konfliktual populisme agama kecuali karena empat faktor, yaitu ia calon Gubernur paling populer, trend tingkat "disukai" publik sangat tinggi, supporting mesin koalisi partai pengusung besar dan model kampanye effektif ("Tempo.co.", 4/12/224).
Pun demikian terkait kebijakan politik anggaran Dedi Mulyadi tentang distribusi belanja "hibah" ia meletakkannya dalam formulasi proporsi berkeadilan dengan prinsip tata kelola secara kredibel dan akuntabel termasuk anggaran belanja hibah untuk lembaga lembaga keagamaan seperti pesantren dan lain lain
Sejumlah anggota DPRD Jawa Barat menggiringnya seolah olah Dedi Mulyadi tidak pro terhadap lembaga keagamaan seperti pesantren, madrasah dan lain lain. Ia dituding memprioritaskan program "tontonan" dibanding program "tuntunan".
Padahal boleh jadi soal ini hanyalah diipicu berkurangnya "kenikmatan" Anggota DPRD dalam akses akses dana hibah tetapi menarik isu keagamaan dalam kepentingan pragmatis. Ini sungguh terlalu berisiko dalam memperkokoh kohesi kebangsaan .
Dalam perspektif penulis sesungguhnya kebijakan politik anggaran dan kebijakan lain Dedi Mulyadi dapat dipahami dalam konstruksi politik keadilan bernegara dalam implementasi sebesar besarnya maslahat publik baik tentang tata kelola dana "hibah" maupun terkait kebijakan "pemutihan" pajak kendaraan, dll.
Ini adalah output dari cara pandang politik Dedi Mulyadi yang terbentuk dalam perjalanan aktivisme politik begitu panjang dalam pergumulan intelektual secara intens dan pemahaman mendalam atas agama Islam yang dipeluknya dalam konstruksi politik keadilan bernegara.
Dalam konstruksi inilah ketidaksetujuan atas pilihan kebijakan Dedi Mulyadi tidak perlu digiring secara ekstrim, terlebih jika ditarik tarik dalam relasi agama, ras dan suku secara konfliktual. Ini sungguh sangat membahayakan daya ikat kohesi kohesi sosial kebangsaan kita.
Sebaliknya kecintaan publik terhadap Dedi Mulyadi jangan pula sampai membuat mereka menjadi "bucin" ("budak cinta", dalam istilah generasi Z dan milenial), tidak menutup mata jika ada langkah dan kebijakan Dedi Mulyadi yang perlu dikritisi.
Hanya dengan kesadaran kritis itulah partisipasi publik menjadi lebih bermakna, transaksi gagasan lebih rasional, tidak sekedar berbalas reaksi versus reaksi secara impulsif agar demokrasi tidak kehilangan pilihan etis dan ruhnya.
Mari kita rawat bersama demokrasi, dibangun lewat diskusi yang tenang dan masuk akal untuk memperluas dan mempertajam pilihan kebijakan bagi maslahat publik dan menghindarkan framing opini publik secara provokatif yang meruntuhkan martabat demokrasi kita.
199951034

KOMENTAR