Dedi Mulyadi dan Mitos Prabu Siliwangi Dalam Perspektif Komunikasi Politik

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat saat ini dalam imajinasi kolektif rakyat Jawa Barat mulai dikonstruksi dalam sebuah mitos politik sebagai "titisan" dari Prabu Siliwangi, seorang raja legendaris kerajaan sunda Pajajaran abad 15 M.
Dedi Mulyadi lahir dan tumbuh dalam ekosistem sosio kultural "Sunda" sehingga secara historis dan simbolis kehadirannya di panggung politik saat ini dinisbatkan secara geneologi politik dengan Prabu Siliwangi, seorang raja kharismatik di tatar Sunda tersebut.
BACA:
Fenomena Baru Dedi Mulyadi Dalam Khazanah Kepemimpinan Politik Indonesia
Konstruksi relasi simbolis di atas memiliki makna politik dalam konteks mengokohkan relasi "kesundaan" dalam representasi politik Dedi Mulyadi di Jawa Barat dan menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Jawa Barat bahwa ia "titisan" Prabu Siliwangi untuk mengembalikan kejayaan tatar Sunda sebagaimana mitos di era kejayaan Prabu Siliwangi.
Tetapi sebagai pilihan strategi komunikasi politik bisa problematis dalam proyeksi branding politik Dedi Mulyadi misalnya di panggung politik Nasional, yakni pilpres 2029 kecuali sekali lagi dalam konteks ia sebagai pemimpin Jawa Barat notabene mayoritas mutlak bersuku "Sunda".
Dedi Mulyadi sendiri dalam salah satu sesi sambutan yang diupload di media sosial menegaskan bahwa ia adalah politisi "rasional" dan kerja kerja politik diletakkan dalam prinsip prinsip berfikir akademis, ia tidak percaya pada mitos mitos politik masa lalu dan ramalan ramalan politik masa depan
Ia meletakkan imajinasi Prabu Siliwangi dan "kesundaan" lebih dalam konteks memuliakan warisan nilai nilai masa lalu dan kekayaan kearifan lokal untuk dirawat dan dihidupkan dalam ekosistem sosial kekinian dan menjaga harmoni dengan alam dalam konstruksj tata kelola bernegara
Prinsip kerja politik rasional dalam orientasi maslahat publik itulah daya magnit Dedi Mulyadi menjelma menjadi fenomena baru dalam lanskap sejarah politik di Indonesia, di pentas politik Nasional, menembus sekat sekat lintas sosio kultural terutama dominasi mitos mitos politik Jawa.
Profesor Burhanudin Muhtadi dalam riset "Indikator Politik", sebuah lembaga survey yang dipimpinnya menyebut Dedi Mulyadi adalah kepala daerah paling populer dan paling banyak diperbincangkan publik di garis orbit politik Nasional saat ini.
Tingkat kepuasan publik atas 100 hari kerja para Gubernur di pulau Jawa (jakarta, Banten, Jateng, Jogjakarta dan Jatim) Dedi Mulyadi dalam "top of mind" tingkat kepuasan publik menembus angka 94%, tertinggi dibanding para Gubernur lain di Pulau Jawa di level provinsi masing masing.
Dalam perspektif itu diktum politik Otto Van Bismoch bahwa "politics is the art of possible", yakni politik adalah ruang kemungkinan maka dalam kemungkinan itulah Dedi Mulyadi diletakkan dalam proyeksi merebut momentum pilpres 2029.
Artinya pendekatan komunikasi politik rasional Dedi Mulyadi di atas jauh lebih akseptabel dan kompatibel alias lebih cocok dari sisi strategi komunikasi politik dibanding menarik narik Dedi Mulyadi dalam "pabrikasi" mitos dalam relasi simbolis dengan Prabu Siliwangi terlalu "tebal".
Relasi kerajaan Sunda Pajajaran dan kerajaan Jawa Majapahit dalam mitos perang "Bubat" tahun 1357 Masehi hingga hari ini masih menyisakan "mitos" sejarah luka mendalam dan membentuk memori kolektif dalam relasi kultural keduanya, bahkan untuk sekedar memberi ruang dalam kebijakan memberi nama "sebuah jalan"
Di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta sulit kita menemukan nama jalan misalnya jalan Siliwangi, jalan Pakuan atau jalan Pajajaran, sebaliknya di Jawa Barat, di bumi tatar Sunda , sulit pula ditemukan jalan Majapahit, jalan Hayam Wuruk atau jalan Gajah Mada. Itulah sisa replikasi luka historis dalam relasi simbolis Jawa dan Sunda.
Barulah pada tahun 2018 terjadi proses rekonsiliasi budaya antara relasi politik simbolik Jawa dan Sunda melalui pertukaran nama jalan di mana jalan Majapahit dan jalan Hayam Wuruk dipakai di wilayah bumi tatar Sunda dan sebaliknya nama jalan Pajajaran dan Siliwangi digunakan di wilayah Jawa dan Jogjakarta.
Begitu panjang sejarah luka itu membentuk memori kolektif dalam relasi budaya keduanya hingga dalam perjalanan sejarah politik Indonesia modern pun masih menjadi sebuah mitos yang mempengaruhi perilaku sosial tak terkecuali dalam perilaku pemilih lintas generasi.
Artinya, strategi komunikasi politik dengan melakukan "pabrikasi" branding politik Dedi Mulyadi dalam relasi "mitos" Prabu Siliwangi bisa mengkarantina ruang ruang elektoral di basis pemilih Jawa di mana Jawa secara populasi lebih 42% dari total pemilih di Indonesia.
Sejarah politik Indonesia modern dalam kajian para ilmuan antropologi politik misalnya penelitian Clifford Geezt Tahun 1954 tentang tiga varian pemilih, yaitu "santri, priyayi dan abangan" tidak lepas dari dominasi simbolik mitos mitos politik Jawa dan hingga hari ini mencerminkan mayoritas perilaku pemilih di Indonesia.
Anasir suku Jawa dan "Islam abangan", yakni tokoh politik beragama Islam tapi tidak memiliki jejak historis dengan ormas keislaman selalu menjadi dominasi "mitos" perilaku pemilih di Indonesia. Inilah yang disebut Abdul Gaffar Karim, peneliti di departemen politik UGM dengan istilah "pemilih sosiologis".
Terpilihnya Susilo Bambang Yudoyono, Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam kontestasi politik di era rejim politik elektoral di pentas politik nasional tidak lepas dari mitos mitos yang mempengaruhi persepsi perilaku pemilih bahwa mereka representasi politik simbolis Jawa dan l"Islam abangan", untuk membedakan dengan "santri". Santri adalah tokoh politik beragama islam yang lahir dari proses aktivisme ormas keislaman
Bahkan meskipun tidak dipilih secara langsung oleh rakyat "kemapanan" kekuasaan politik Bung Karno di era Orde Lama dan Soeharto di era Orde Baru tidak lepas dari dominasi simbol simbol politik Jawa dan dominasi corak "Islam abangan".
Itulah realitas sosiologis poltik di Indonesia hingga menjadi semacam "mitos" jika hendak menguasai Indonesia maka kuasailah "Jawa" dan menguasai Jawa adalah mengidentifikasi diri bagian dari komunitas mereka dalam konstruksi suku Jawa dan corak Islam abangan
Dedi Mulyadi adalah fenomena politik "pengecualian" dari mitos politik di atas yang membentuk tradisi dan lanskap sejarah politik di Indonesia atau setidaknya kehadiran Dedi Mukyadi di panggung politik Nasional saat ini telah menandai sebuah pergeseran sosiologi politik di mana relasi simbolis Jawa mulai "mencair".
Ia berlatar belakang etnis Sunda begitu kental, sebuah etnis berpusat di provinsi Jawa Barat dengan populasi 15,1% dari total populasi di Indonesia tetapi ia mulai mampu menembus sekat sekat budaya dan "melumerkan" suasana kebatinan dari luka sejarah dalam relasi kekuasaan kerajaan masa lalu.
Dalam hepotesis penulis kunci kekuatan branding politik Dedi Mulyadi hingga ia menembus sekat sekat dominasi '"mitos mitos" politik Jawa justru karena ia tampil sebagai politisi "rasional", tidak "mempertebal" strategi komunikasi politik yang menghadirkan mitos "titisan" Prabu Siliwangi
Ia justru berhasil dalam strategi komunikasi politik karena piawai menggabungkan elemen elemen marketing politik dengan meletakkan kekuatan nilai integritas, teladan kepemimpinan dan maslahat kebijakan dalam strategi komunikasi politik.
Ia piawai menghadirkan diri dalam konten di media sosial tidak semata mata membranding citra politiknya tetapi ia hadir dengan keberanian misalnya membongkar politik anggaran selama ini lebih banyak dinikmati belanja rutin para pejabat digeser secara signifikan untuk belanja publik dengan segala pro kontra dalam pilihan implementasi kebijakannya.
Itulah daya magnit Dedi Mulyadi di ruang media sosial hingga ia akseptabel dan populer dengan trend positif dalam persepsi publik begitu tinggi dalam skala Nasional, bahkan mulai melampaui sejumlah tokoh nasional lain dan diprediksi akan menjadi salah satu "rising" star dalam dinamika kontestasi pilpres 2029 .
Dalam konstruksi ini apa yang disebut dalam diktum politik Otto Van Bismoch di atas bahwa "politics is the art of the possible", bahwa politik adalah ruang kemungkinan akan menjadi ruang kemungkinan bagi Dedi Mulyadi dalam konteks kontestasi pilpres 2029 di atas, sebuah ruang kemungkinan di mana jalan takdir politik Dedi Mulyadi akan menemukan jalan proses politiknya.
Saat ini terlalu dini paling tidak dalam perspektif penulis untuk membaca kemungkinan jalan politik Dedi Mulyadi dalam konteks pilpres 2029 di atas meskipun perbincangan di ruang ruang media sosial tentang kepemimpinan Dedi Mulyadi telah menjadi "trend" lintas provinsi dan makin menyedot perhatian publik secara Nasional.
Point penting yang hendak ditegaskan dalam tulisan ini bahwa pilihan strategi komunikasi politik Dedi Mulyadi dengan meletakkan prinsip prinsip rasionalitas dalam kerja kerja politik untuk maslahat publik sudah sangat tepat
Dengan kata lain, ia tidak menghadirkan mitos mitos politik masa lalu, tidak membranding diri dalam narasi besar sebagai "titisan" prabu Siliwangi, raja kerajaan sunda Pajajaran.
Ini penting bukan sekedar untuk tidak menghidupkan lagi luka sejarah lama dalam relasi dengan mitos mitos politik Jawa, tidak sekedar untuk mencairkan basis basis elektoral baru tetapi inilah jalan dan syarat syarat politik untuk menjadi bangsa Indonesia modern.
Menjadi negara bangsa modern hanya dapat ditempuh jika mampu melepaskan poltik dari pertarungan "identitas" masa lalu sekaligus bertransformasi menjadi ruang politik gagasan yang rasional dan akuntabel
TAG#Dedi Mulyadi, #Gubernur Jawa Barat, #ADLAN
200093275

KOMENTAR