Dramaturgi Politik di Jawa Barat Antara Dedi Mulyadi dan DPRD

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Heboh fraksi PDI Perjuangan Jawa Barat "walk out" dari forum rapat paripurna DPRD Jawa Barat (16/5/2025) terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Jawa Barat
Inilah awal "perlawanan" terbuka salah satu kekuatan representasi politik di DPRD terhadap kepemimpinan politik Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat.
Sikap kontra atas beberapa kebijakan Dedi Mulyadi sebelumnya banyak disuarakan oleh Ono Surono, wakil ketua DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan, juga beberapa anggota fraksi PKB dan sejumlah pengamat serta akademisi melalui kanal media sosial.
Rahmat Hidayat Jati, anggota fraksi PKB DPRD Jawa Barat bahkan menulis surat terbuka menyoal kepemimpinan Dedi Mulyadi layaknya "raja", abai terhadap sistem dan mekanisme proses proses politik dalam relasinya dengan DPRD Jawa Barat.
Dalam teori "dramaturgi" politik Erving Goffman, Sosiolog politik, apakah aksi walkout dan protes protes di atas hanyalah "front stage", sebuah panggung depan untuk merebut ruang harapan publik di media sosial yang saat ini nyaris dikuasai populisme politik Dedi Mulyadi ?
Apakah aksi aksi politik di atas bagian dari fungsi advokasi politis DPRD dalam perjuangan artikulasi aspirasi publik atau sebaliknya sebuah manuver bargaining politik terhadap .Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat?
Dalam konstruksi yuridis tidak dikenal koalisi atau oposisi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Posisi politik Gubernur dan DPRD adalah dua unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersifat setara dan tidak saling "kooptasi" satu sama lain
Posisi politik DPRD memiliki posisi penting dalam proses politik penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni "chek and balance", peran penyeimbang terhadap Gubernur dalam konteks sharing mempertajam pilihan maslahat publik atas perencanakan program.
Itulah konsepsi negara demokratis di mana posisi partai politik dan kekuatannya di lembaga parlemen (DPRD) adalah titik simpul perjuangan artikulasi aspirasi kolektif publik untuk didesakkan ke ruang ruang kebijakan eksekutif.
Perspektif ini menjelaskan bahwa kritik Ono Surono dan anggota DPRD dari fraksi manapun termasuk dari para pengamat dan akademisi terhadap Dedi Mulyadi dalam posisi politiknya sebagai Gubernur Jawa Barat -; adalah "lumrah lumrah" saja dalam sistem demokrasi kita
Di era media sosial saat ini terus terang tidak mudah merebut ruang harapan dan atensi publik Jawa Barat bagi politisi manapun. Dedi Mulyadi harus diakui, suka tidak suka, saat ini bukan hanya memimpin Jawa Barat tapi juga memimpin "algoritma digital".
Ia dominan menguasai jagat "algoritma digital", berhasil menggabungkan elemen elemen "marketing politik" dengan meletakkan kekuatan nilai integritas, teladan kepemimpinan dan maslahat kebijakan dalam strategi komunikasi politik.
Ia tidak sekedar piawai bermain "konten" di media sosial untuk mempromosikan diri secara personal tetapi ia hadir membawa kebijakan kebijakan yang menghentak di ruang publik dan relasional dengan kebutuhan maslahat publik.
Ia tampil dengan kekuatan gagasan dan pesan yang mencerminkan nilai nilai, visi dan misi yang diusungnya sehingga publik mudah mengasosiasikan diri bahwa Dedi Mulyadi adalah figur politik harapan dan rujukan keteladanan publik .
Kekuatan branding politik Dedi Mulyadi melampaui effect teritorial daerah yang dipimpinnya, menggema di seluruh Indonesia, sulit dilakukan oleh pemimpin yang lahir dari pencitraan konten "buatan" untuk merawat kepentingan pesona citra politik di ruang publik
Dedi Mulyadi dalam persepsi publik adalah Gubernur yang kuat dalam gagasan, cepat dalam terobosan dan memiliki kemampuan taktis dalam teknokrasi politik dengan integritas teruji sebagai modal keberanian dan teladan kepemimpinannya.
Ia tidak tersandera kepentingan elektoral sesaat untuk merawat citra politik, tidak terbebani oleh kepentingan basis pendukung dan partai partai pengusungnya kecuali meletakkan desain politik anggaran dan program program dalam kerangka maslahat publik.
Itulah yang menjelaskan kenapa Dedi Mulyadi begitu kuat mendapatkan atensi dengan trend positif dalam persepsi publik dan membentuk relasi emosional begitu "intim" dengan publik
Sehingga setiap pengkritik Dedi Mulyadi baik dari unsur DPRD maupun para akademisi serta merta direspon dengan serangan balik oleh para netizen yang mengidolakan Dedi Mulyadi.
Di satu sisi inilah kepemimpinan "populis" Dedi Mulyadi, sebuah style kepemimpinan politik dengan pendekatan populis dalam relasi komunikasi politik secara "intim" dengan publik
Tetapi di sisi lain jika ini terlalu berlebihan bukan saja potensial mematikan kontestasi gagasan di ruang publik lebih dari itu bisa menghadirkan "otoritarianisme populis" yang bisa mematikan fungsi "chek and balance" dalam sistem demokrasi.
Karena itu betapa pun Dedi Mulyadi mendapatkan atensi publik begitu tinggi - kritik tajam terhadap Dedi Mulyadi tetap penting untuk memberi ruang ruang pikiran alternatif dalam memperluas dimensi maslahat publik atas setiap pilihan kebijakannya.
Di sinilah para anggota DPRD penting untuk meletakkan diri dalam konteks perjuangan atas representasi rakyat yang diwakilinya tidak dikonstruksi dalam desain kepentingan partai dan golongan politiknya. Inilah yang dalam politik kekinian tertolak dalam persepsi publik.
Tentu partisipasi publik secara bermakna dan kritis penting selalu disuarakan untuk terus mengawal relasi politik Gubernur dan DPRD sebagai dua unsur penyelenggara pemerihtahan daerah.
Relasi keduanya tidak boleh dibiarkan sekedar menghadirkan panggung kontestasi berebut simpati publik melainkan sepenuhnya dalam relasi maslahat publik.
TAG#ADLAN, #DEDI MULYADI, #JAWA BARAT
200064727

KOMENTAR