Fenomena Baru Dedi Mulyadi Dalam Khazanah Kepemimpinan Politik Indonesia

Hila Bame

Tuesday, 10-06-2025 | 12:36 pm

MDN

 


Oleh : H. Adlan Daie.
Analis politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat adalah fenomena "baru" dalam khazanah kepemimpinan politik di Indonesia, tidak dapat sepenuhnya dimasukkan dalam salah satu tipologi kepemimpinan politik di indonesia versi Herbert Feith.

Herbert Feith, seorang ilmuan politik yang terkenal dengan fokusnya pada sejarah politik Indonesia modern membagi tipologi kepemimpinan politik di Indonesia dalam dua kategori, yaitu :

Pertama, "solidarity maker", sebuah kepemimpinan politik dengan kemampuan menggalang solidaritas bertumpu pada kekuatan kharisma seorang pemimpin politik. Kepemimpinan politik Bung Karno masuk dalam kategori ini versi Herbert Feith.

Kedua, "administrative politics", sebuah kepemimpinan politik yang menekankan pada kemampuan desain kebijakan teknokratik untuk mencapai tujuan bersama. Herbert Feith memasukkan Bung Hatta dalam tipologi kepemimpinan  kategori ini.

Kepemimpinan politik Dedi Mulyadi lahir ketika ruang publik penuh sesak dan riuh rendah oleh gempita media sosial tapi ia tidak sekedar piawai dan mempesona dalam sorot kamera melainkan juga memiliki kapasitas intelektual sangat memadai.

Meminjam ilustrasi Ija Suntana, seorang kolumnis, Ia tidak sekedar memiliki kapasitas teknokratis untuk mengatur tetapi juga gestur penampilan yang menghibur. Ia hadir saat publik bosan dengan politik formalitas kosong, bosan dengan janji janji politik palsu (PHP).

Itulah dalam perspektif penulis yang menjelaskan kenapa Dedi Mulyadi memiliki tingkat kepuasan publik tinggi sebesar 94% dengan rincian 40% "sangat puas" dan 54% "cukup puas" sebagaimana direkam dalam survey "Indikator Politik"(28/5/2025), 

Ia adalah Gubernur dengan tingkat kepuasan publik tertinggi dibanding tingkat kepuasan publik terhadap para Gubernur lain di Pulau Jawa (Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur) dalam versi temuan survey "Indikator Politik" di atas.

Fenomena "baru'" kepemimpinan politik Dedi Mulyadi bukan sekedar ia pemimpin "populis" dalam arti turun menyusuri gang gang sempit tetapi sekaligus memiliki kapasitas intelektual untuk berdiskusi dengan para cendekiawan dalam beragam perspektif tentang tata kelola bernegara. 

Ia tidak "reseh", tidak kaku dan tidak "dibuat buat" bisa duduk di tengah sawah dan bercengkrama dengan para petani dengan bahasa petani yang "menghibur" sambil tertawa renyah tetapi tidak kehilangan power kepemimpinan politiknya untuk "mengatur' arah masa depan kehidupan petani.

Prinsip tata kelola pemerintahan dalam konstruksi "otonomi daerah", yakni akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik dalam kepemimpinan politik Dedi Mulyadi tidak dimaknai dalam prosedur birokratis yang rumit, kaku dan lambat. 

Ia hadir menjawab kerinduan publik terhadap pemimpin bukan sekedar transparan agar publik tahu apa yang dikerjakan pemimpinnya,  bagaimana cara melakukan dan untuk tujuan apa dilakukan, lebih dari itu ia menampilkannya yang bisa membuat rakyat tertawa dan terhibur.

Tipologi kepemimpinan di atas dalam perspektif Ija Suntana "tak akan lahir dari kepura puraan, ia tumbuh dari pertemuan antara jiwa yang mengakar pada rakyat dan visi membuat sesuatu untuk mereka", tulisnya ("kompascom", 19/5/2025).

BACA: 

Catatan 100 Hari Dedi Mulyadi dan Tantangan Turbulensi Demokrasi

 

Inilah "kebaruan" kepemimpinan politik Dedi Mulyadi dalam khazanah kepemimpinan politik di Indonesia saat ini, sebuah fenomena di mana ia hadir menjawab dahaga atas keringnya kepemimpinan formalitas yang kosong dan penuh basa basi dengan cara menghibur 

Ia hadir di ruang kepemimpinan politik menghentak kesadaran publik bagaimana bernegara dengan tata kelola pemerintahan yang baik, rasional dan terukur tetapi juga mampu menghibur hati publik di depan kamera di era platform media sosial.

Dalam konteks inilah kehadiran Dedi Mulyadi dalam kepemimpinan politik di Indonesia, menjawab "kecemasan" Mendagri Tito Karnavian tentang kualitas kepala daerah produk kontestasi politik elektoral

Menurut Mendagri kontestasi politik elektoral tak jarang hanya menghasilkan kepala daerah piawai menjual pesona tapi kapasitas dan kompetensi di bawah "standart".

Kepemimpinan politik Dedi Mulyadi menjawab "kecemasan" Mendagri di atas, ia terpilih tidak sekedar memiliki pesona popularitas tetapi sekaligus memiliki kapasitas dan kompetensi untuk memimpin dengan cara menghibur di era media sosial yang "sumpek".

Bahkan kehadiran kepemipinan politik Dedi Mulyadi di panggung politik saat ini adalah sebuah "fenomena baru" dan "harapan baru" untuk menjawab kelemahan dan hambatan kultural untuk Indonesia bisa maju sebagaimana dideskripsikan Budayawan Muchtar Lubis 

Muchtar Lubis dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, tahun 1977 (dibukukan dengan judul "Manusia Indonesia", menyebut enam hambatan kultural untuk Indonesia bisa maju, yaitu :

Pemimpinnya hipokrit, lalai bertanggungjawab, berprilaku feodal (pemimpin senang dipuji, kritik dimusuhi), percaya tahayul, artistik alias berbakat seni dalam politik  gampang "ngakali" dan lemah karakter.

Disinilah  urgensi  "kebaruan" kepemimpinan politik Dedi Mulyadi. Ia tidak sekedar populis untuk  memanjakan dan menyenangkan rakyat tapi menerobos sekat sekat feodalisme politik yang menghambat rasionalitas sebagai syarat dalam transformasi sosial memajukan Indonesia.

Dengan tipologi "kebaruan" kepemimpinan politik inilah diskursus politik di media sosial tidak jatuh menjadi ruang bertumbuhnya hoax dan propaganda yang bukan saja potensial membelah kohesi kohesi sosial sesama anak bangsa tetapi juga menghadirkan kematangan demokrasi sebagai syarat untuk memajukan kesejahteraan bersama.

Kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagaimana dalam tipologi di atas akan melahirkan partisipasi publik menjadi lebih bermakna, transaksi gagasan lebih rasional dan demokrasi tidak kehilangan pilihan etis dan ruhnya.

Di jalan kematangan demokrasi itulah kita kawal bersama "keistiqamahan" jalan merangkak dan mendaki dedi Mulyadi menuju masa depan Indonesia mengutip "Trisakti" Bung Karno, yakni yang berdaulat secara politik, mandiri dalam kekuatan ekonomi dan berkepribadian kuat dalam kebudayaan.
 

 

TAG#DEDI MULYADI, #ADALAN

199957240

KOMENTAR