H. Yance, DEWA dan ONO SURONO

Oleh. : Adlan Daie
Pengamat dan peneliti politik elektoral Indramayu
Jakarta, Inako
Dengan sedikit adaptasi kerangka methodologi Cliffort Gezt dalam bukunya "The Religion Of Java" tentang elektoral politik dari sisi segmentasi sosial masyarakat Jawa secara simplistis penggambaran representasi ketokohan politik personal di Indramayu dalam dua dasawarsa terakhir dapat dikategorikan dalam tiga poros politik, yakni poros politik H. Yance, poros politik H. Dedi wahidi dengan panggilan politik Dewa dan terakhir poros politik Ono Surono, generasi politik di bawah nya dari sisi usia. Di luar ketiga poros politik di atas adalah variabel variabel politik penyangga dalam faksionalisasi varian ketiga poros tersebut.
Baik H. Yance, Dewa maupun Ono Surono adalah kategori politisi dengan kekuatan personal "The big risk taker", yakni keberanian terukur mengambil resiko dalam kontestasi pertaruhan politik. Kekuatan personal.politik H. Yance hingga mendominasi langgam politik Indramayu adalah koneksitas kuasa politiknya yang kuat dalam menginjeksi komunitas kekaryaan non ideologis secara elektoral meskipun dalam update kekinian terutama pasca di kait kaitkan secara framing stigmatis dengan kasus OTT KPK mulai memperlihatkan kurva sedikit menurun hingga ditengarai terjadi friksi yang sangat tajam di internal partai Golkar, penyangga utama politiknya.
Sementara di pihak lain baik Dewa maupun Ono Surono adalah potret perpaduan kekuatan personal politik dalam menjaga, meng-upgrading dan memodernisasi warisan jaringan politik ideologis yang mapan dari basis elektoral santri dan kelompok nasionalis sebagaimana kategorisasi Cliffort Gert dalam bukunya di atas hingga bukan saja mampu menaikkan elektoral politiknya di setiap pemilu legislatif dan secara bertutur turut sukses ke DPR RI, bahkan dalam update terakhir Ono Surono sukses menapaki tangga memimpin PDI Perjuangan di level Jawa Barat.
Pertanyaan yang menggoda bagaimana kita membaca tiga poros kekuatan politik diatas dalam konteks hasil dan out put politiknya dalam dinamika kontestasi pilkada Indramayu 2020? Tentu sulit menjawabnya dalam presisi data survey karena hingga saat ini belum ada satu pun lembaga survey yang menggambarkan tingkat pengaruh elektoral ketiga tokoh di atas dalam koneksitasnya ke calon tertentu kecuali sedikit dapat ditimbang dari sisi trend dinamika fluktuasi politiknya dengan varian kemungkinan sebagai berikut :
Pertama, poros oligarkhi politik H. Yance tetap akan memenangkan pertarungan politik dalam kontestasi pilkada 2020 jika paket pasangan yang diusung mewakili representasi kepentingan hegemoni politiknya, internal partai Golkar kuat dan solid dalam genggam kuasa politiknya, desak pengaruhnya tak terganggu secara massif dan point terpentingnya mampu membelah poros politik Dewa dan Ono Surono tidak dalam satu barisan politik dan berdiri sendiri dalam kontestasi pilkada Indramayu 2020.
Kedua, sebaliknya jika poros politik Dewa dan Ono Surono melebur menjadi senyawa kekuatan politik mampu menghadirkan paket pasangan yang mewakili figuritas ideologi politik keduanya, memiliki penetrasi daya ganggu yang massif, menyumbat pipa pipa elektoral semi birokratis dan menlockdown basis pemilih pertanian yang selama ini menjadi kekuatan elektoral.poros politik H. Yance berdasarkan kajian data demografi pemilih maka harapan perubahan "habislah gelap menjadi terbitlah terang".
Demikianlah gambaran simplistis representasi elektoral politik ketiga tokoh indrmayu di atas dengan kalkulas tentang varian varian kemungkinan hasil pilkada indramayu 2020 yang mudah mudahan berguna untuk deteksi dini dalam mendesain kontestasi politik secara kompetitif dan ketat atau bahkan dalam kerangka melahirkan embrio poros politik baru yang bersenyawa dalam satu poros gerakan perubahan untuk menjaga marwah, martabat dan nasib partai partai koalisi perubahan agar tidak makin merana dan mati suri tertelan gurita rejim kekuasaan dalam pemilu legislatif 2024
Di atas segalanya pilkada hakekatnya adalah proses politik demokratis, jalan politik mulia dan beradab dalam proses rekruitmen suksesi kepemimpinan politik. Karena itu, pilkada Indramayu 2020 yang digelar di tengah wabah corona dengan dampak sosial ekonominya mencekik leher rakyat haruslah kita jaga bersama nilai kemuliaannya tercermin dalam tindak laku peserta dan penyelenggara pilkada antara lain menjauhkan diri dari akal bulus politik busuk yang hanya mengakali jerat delik hukum formal.
Kepemimpinan politik dari proses pilkada nihil keadaban politik hasilnya hanya tampilan kekuasaan tidak berperadaban luhur dan primitif nilai kecuali sekedar aksesoris modern yang menyiksa suasana batin rakyat yang mayoritas diam dan tidak berdaya.
TAG#ADLAN DAIE
190328487

KOMENTAR