ICRP Gelar Festival Agama untuk Perdamaian 2019 Hari Ini

Sifi Masdi

Saturday, 23-03-2019 | 09:22 am

MDN
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia [inakoran.com]

Jakarta, Inako

ICRP (Indonesian Confrence on Religion and Peace) menggelar Festival Agama untuk Perdamaian ICRP 2019, di Jakarta, Sabtu, 23 Maret 2019.  Acara ini bertujuan untuk mengajak mengajak para elite politik, tokoh-tokoh agama dan masyarakat luas, untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai nilai-nilai dasar pemersatu bangsa.

Langkah ini sangat dibutuhkan mengingat, dalam waktu dekat, bangsa Indonesia  memasuki proses pemilihan umum serentak, baik pada tingkat legislatif pusat dan daerah, maupun terutama pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Praktik-praktik politik menjelang pemilu yang hampir tidak lagi mengenal norma dan sopan santun, telah mengakibatkan polarisasi yang sangat tajam dalam masyarakat, dan pada gilirannya makin meredupkan nilai-nilai Pancasila serta mengancam sistem demokrasi itu sendiri. Situasi ini merupakan peringatan keras yang patut menggugah kesadaran bersama sebagai anak-anak bangsa.

Prof. Dr, Siti Musdah Mulia, Ketua Umum Yayasan ICRP, mengatakan ICRP sebagai rumah besar bagi berbagai komunitas iman hendak meneruskan upaya dalam membangun sinergi antara komunitas-komunitas iman, menghidupkan nilainilai agama dan budaya dalam bingkai Pancasila. Festival Agama untuk Perdamaian ICRP menjadi sebuah momentum untuk mewujudkan hal ini. Untuk itu, ICRP mengambil tema “Meneguhkan Kembali Pancasila” sebagai tema acara kali ini.

Festival Agama ini semakin penting untuk dilakukan karena menurut data ICRP bahwa kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan beberapa tahun terakhir tentang tindakan intoleransi menunjukkan trend yang cukup mengkhawatirkan. Walaupun tahun 2018 data menunjukkan bahwa tindakan intoleransi cenderung menurun, namun hal ini diyakini adalah karena konsentrasi publik sedang terfokus pada kondisi politik nasional.

Selain tindakan intoleransi, fenomena yang juga patut diperhatikan adalah adalah kian meningkatnya radikalisme keagamaan. Radikalisme keagamaan ini malah bergandengan dengan radikalisme dalam politik sehingga daya rusaknya terhadap rajutan sosial makin berat.

Terkait dengan kebebasan agama, Musdah Mulia mengatakan, secara normatif kebebasan beragama mengandung delapan unsur. Pertama, kebebasan bagi setiap orang menganut agama atau kepercayaan atas dasar pilihan bebas. Kedua, kebebasan memanifestasikan agama atau kepercayaan dalam bentuk ritual dan peribadatan. Ketiga, kebebasan dari segala bentuk pemaksaan. Keempat, kebebasan dari segala bentuk diskriminasi. Kelima, kebebasan yang mengakui hak orang tua atau wali. Keenam, kebebasan bagi setiap komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat. Ketujuh, kebebasan bagi setiap orang untuk memanifestasikan ajaran agama hanya dapat dibatasi oleh UU. UU dibuat demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain. Kedelapan, negara menjamin pemenuhan hak kebebasan internal bagi setiap orang, dan itu bersifat non-derogability.

“Jika delapan unsur ini diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan masyarakat akan terwujud suasana damai penuh toleransi. Setiap komunitas agama akan menghormati komunitas lain, dan mereka dapat berkomunikasi dan bekerja sama dalam suasana saling pengertian, penuh cinta kasih,” kata Guru Besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta  dalam keterangan tertulisnya.

simak juga video inakoTV Prof Musdah Mulia terkait relasi antar agama di NKRI jangan lupa"klik Subscribe" agar selalu terhubung dengan info faktual lainnya.

KOMENTAR