Ini 6 Alasan Indonesia Butuh UU Penghapusan Kekerasan Seksual

Sifi Masdi

Saturday, 30-03-2019 | 12:19 pm

MDN
Suasana Diskusi Publik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Kamis (28/3/2019) [inakoran.com]

Jakarta, Inako

Sejumlah organisasi perempuan menyelenggarakan Diskusi Publik terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan  Kekerasan Seksual (P-KS)  di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3/2019). Diskusi ini didukung oleh Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Kalyanamitra, KPPRI (Kaukus Perempuan Parlemen RI), KPPI (Kaukus Perempuan Politik Indonesia), dan MPI (Maju Perempuan Indonesia).

Hadir dalam diskusi ini sejumlah calon legislatif dari berbagai partai politik, sejumlah aktivis perempuan, pengamat, dan menghadirkan enam pembicara. Desakan mempercepat RUU PKS ini segera disahkan karena diyakini UU P-KS dapat menjadi payung hukum untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual serta memberikan perlindungan dan keadilan pada korban.

Ratna Batara Munti, Koordinator JKP3 (paling kiri) sebagai salah satu narasumber dalam diskusi publik terkait pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Kamis (28/3/2019) [inakoran.com]

 

Menurut Ratna Batara Munti, Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), ada enam alasan bangsa ini membutuhkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU P-KS). Berikut uraian masing-masing poin:

Pertama, untuk melaksanakan sila ke-2 Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena kekerasan seksual bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagai bangsa kita berkewajiban mencegah terjadinya kekerasan dan memulihkan harkat dan martabat kemanusiaan korban, menghukum dan merehabilitasi pelaku untuk kembali menghargai dan menghormati nilai kemanusiaan dirinya dan orang lain.

Kedua, untuk memenuhi hak konstitusional warga negara diantaranya hak untuk bebas dari rasa takut, tidak didiskriminasi, bebas dari penyiksaan, hak atas hidup dan tumbuh kembang secara optimal.

Ketiga, tingginya jumlah kasus kekerasan seksual, dan adanya berbagai bentuk kekerasan seksual yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan kita.

Keempat,  Sistem Peradilan Pidana yang ada belum berpihak kepada korban dan tidak cukup mempertimbangkan pengalaman dan kepentingan/kebutuhan korban kekerasan seksual.

Kelima, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan terkait hukum pidana dan viktimologi yang belum diadopsi dalam peraturan perundang-undangan, maupun sistem dan cara kerja aparat penegak hukum.

Keenam, negara berhutang kepada rakyatnya, untuk mensejahterakan semua rakyat sesuai amanat proklamasi. Selanjutnya bagi perempuan Indonesia berarti bebas dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual.

 


 

 

 

 

 

KOMENTAR