Kisah Lasmini Si Penari Ronggeng Dari Lebakbarang Pekalongan

Pekalongan, Inako
Jangankan batu nisan bertuliskan namanya, bahkan sekedar gundukan tanahpun tidak pernah ada, hanya rerumputan yang tumbuh diatas tanah pusarannya.
Asmarandana
Ingkeng asmi pun Lasmini
Asaling keng Lebakbarang
Joget ronggeng kabisane
Swantene kung sesekaran
Sampur kalawan sinjang
Punika gegamanipun
Mengsah dadah tuwin pejah
Di tempat asal, namamu tak dikenal. Di daerah lain, namamu sayup terdengar lantas terlupa. Yah, LASMINI Ronggeng Lebakbarang.
Pertempuran Lebakbarang tahun 1947 saat agresi militer Belanda dilancarkan, luluh lantak daerah bagian selatan Karesidenan Pekalongan. Banyak korban kedua belah pihak, Belanda dan pejuang dari Pekalongan. Banyak warga mengungsi kesegala arah yang sekiranya aman. Lasmini sang penari Ronggeng pun harus ikut pengungsi sampai ke Kebumen.
Apa mau dikata, keluarga Lasmini jadi korban dalam pertempuran pejuang kemerdekaan dan Belanda di Lebakbarang. Kebumen tak jauh berbeda dengan Lebakbarang. Pertempuran Canonade yang juga menghancurkan beberapa wilayah Kebumen. Entah, dorongan apa yang menggerakkan Lasmini untuk bergabung dengan pasukan bentukan dokter Moestopo. Jadilah ia bagian dari pasukan yang terdiri dari pencoleng, pencopet dan pelacur untuk memata matai pergerakan tentara Belanda yang bermarkas di benteng Van der Wijck Gombong.
Tujuan pasukan dari dokter Moestopo menahan agar pasukan Belanda tidak masuk ke Jogyakarta. Bakat alami yang dimilki Lasmini sebagai penari ronggeng selama ini dijalaninya sebagai profesi tak banyak kesulitan masuk kedalam tangsi-tangsi militer dari Kebumen sampai daerah Cilacap. Tubuh gemulai, suara yang indah juga paras cantik Lasmini menjadikannya buah bibir baik laki laki Belanda maupun laki laki pribumi pemburu kenikmatan sesaat.
Jadilah Lasmini primadona bak dewi turun dari kahyangan. Kecurigaan sesama pasukan Moestopo pada diri Lasmini sudah jadi rumor yang begitu liar. Loyalitas Lasmini terhadap perjuangan dari Moestopo dipertanyakan. Lihat saja baru satu tahun, Lasmini sudah bergelimang harta, kalau berjalan gemerincing suara perhisan yang menempel di tubuhnya.
Keberadaannya selalu dikawal oleh beberapa “centeng” dimana saja. Kecemburuan pribumi beranjak menjadi kebencian termata sangat pada Lasmini yang hanya menyerahkan tubuhnya pada sinyo Belanda dan tentara berkebangsaan Belanda. Memang semenjak bertugas sebagai mata-mata Lasmini penari ronggeng benar-benar tidak mau “dikandangke” (dalam pelukan) laki laki pribumi, sekaya apapun ia, seningrat apapun ia.
Iming-iming harta sebanyak apapun diberikan tidak bisa merubah pendirian Lasmini. Ia hanya mau dalam pelukan laki-laki Belanda. Segala informasi yang seharusnya digali nyaris hanya terjadi beberapa kali, itupun awal permulaan, setelah itu tidak sama sekali. Sedemikian bejat Lasmini, tak layak hidup baginya, itu yang ada dalam benak pribumi. Dicari usaha untuk menjebak Lasmini pun dilakukan.
Kongkalikong antara pribumi kaya dengan seorang pengusaha asal Belanda, menjebak Lasmini. Lasmini bersama para pengrawit disertai beberapa centeng ditanggap menari di pendapa rumah “bandung/joglo” yang sangat luas. Berjibun orang ingin menontonnya. Maklum, sekian lama keinginan untuk melihat gemulainya tubuh Lasmini, merdunya suara Lasmini dan kecantikan Lasmini yang selalu tak kesampaian.
Gending “warung pojok” hingga “semar mendem” begitu rancak mengiringi lagu dan tarian Lasmini yang begitu saja mengundang gairah kelaki-lakian. Sawer menyawer berkalung sampur berpindah dari satu laki-laki ke yang lain hingga melewati dini hari.
Penonton berangsur sepi dari anak-anak dan perempuan. Para centeng ditangkapi satu satu tanpa sepengetahuan Lasmini. Banyak orang dengan membawa segenggam klari/blarak/daun kelapa kering berdiri mengitari tumpukan tinggi kayu kering.
Pertunjukan ronggeng berhenti.
Para pengiring/pengrawit ditarik menjauh dan tinggal Lasmini. Si orang kaya masih memberi kesempatan pada Lasmini, sekiranya mau “dikandangke” saat ini juga, pasti bebas dari hukuman. Namun jawaban Lasmini begitu mengejutkan si orang kaya dan warga yang mengerubutinya.
“Pak lan sadherek sadaya, apurane inyong, dene inyong ora gelem dikandangna maring sampeyan sadaya, merga inyong tresna marang sampeyan, apurane” (Pak dan saudara saudaraku, maafkan aku bahwasanya aku tidak mau ‘dikandangna karena aku mencintai kalian), jelas Lasmini dengan menyebar senyum yang begitu dalam. Mendengar penjelasan Lasmini, yel-yel makian beserta ludah hinggap ditubuh Lasmini.
Beramai ramai tubuh Lasmini diseret keluar pendapa menuju pekarangan luas tak jauh dari situ. Sàat itu juga Lasmini teriak keras namun tak menujukkan ketakutan maupun marah. Sementara tumpukan kayu kering setinggi rumah sudah dinyalakan.
“Dene inyong arep diobong, ora perlu diseret, inyong bisa mlaku dewek bapak-bapak sadaya, inyong ikhlas, melas, eman-eman tangane ndemok awake inyong sing wis reget kaya kiye” ( Jika diri ini hendak dibakar, tak perlu kalian seret, aku bisa jalan sendiri, sayangilah tangan kalian jangan sampai menjamah tubuhku yang sudah begitu kotor).
Lasmini nampak kecantikan luar dalam saat itu, tubuhnya bercahaya melebihi gumpalan api tumpukan kayu yang mulai terbakar. Ibu-ibu dan para perempuan yang tadinya sembunyi-sembunyi mulai berdatangan, menjerit berteiak mencegah agar Lasmini jangan dibakar. Menangis dan teriak histeris ibu-ibu dan perempuan lainnya.
Lasmini dengan tenang, berjalan memasuki gumpalan api yang sudah membara.
Tentara Belanda tertahan tak bisa memasuki Jogya tidak hanya jembatan perbatasan Karanganyar-Gombong diputus oleh pasukan Moestopo. Peran Lasmini sangatlah penting, dengan cara yang rahasia namun detail memberikan pesan kepada para pejuang perihal kekuatan dan kelemahan Belanda.
Namun juga Belanda dipermalukan tentaranya sendiri. Tentara Belanda lumpuh banyak anggotanya terserang penyakit SIPHILIS Inilah cara perlawanan LASMINI si Ronggeng dari Lebakbarang beserta para pelacur yang dikerahkan Pasukan Teratai pimpinan dokter Moestopo.
Catatan!
Narasumber : bapak Lasimin salah satu pengrawit yang dibeberapa tahun kemudian sempat menjadi pengrawit Ki Dalang Sono di Gombong
BACA JUGA: Ini 5 Kesalahan yang Sering Terjadi Dalam Memilih Sepatu
KOMENTAR