Miftah Maulana dan Pedagang Es Teh, Bangkrutnya Moralitas Dakwah?

Saverianus S. Suhardi

Thursday, 05-12-2024 | 15:12 pm

MDN
H. Adlan Daie-Analis politik dan sosial keagamaan [Foto: Ist]

(Oleh : H. Adlan Daie-Analis politik dan sosial keagamaan)

 

JAKARTA, INAKORAN.com - Penulis sama sekali tidak melihat aspek kapabilitas dan kompetensi Miftah Maulana Habiburrahman untuk diangkat dalam portofolio resmi negara menjadi utusan khusus Presiden bidang toleransi agama, kecuali pertimbangan politis yang mana dia adalah pendukung garis keras Presiden Prabowo Subianto.

Ejekan  Miftah dalam pengajian Akbar di Magelang (2/12/2024) dengan tudingan "goblok" kepada seorang penjual es teh yang viral di media sosial bukan sekadar urusan guyonan dakwah. Ejekannya menyangkut akhlak publik dalam beragama sekaligus bernegara.

Miftah bukan kali ini saja melempar guyonan dakwah yang tidak etis di ruang publik. Dia bahkan tak jarang, guyonan dakwahnya menyimpang dari akhlak dakwah Rasulullah. Kali ini ia kena batunya.

BACA JUGA: Gerindra Minta Gus Miftah Sampaikan Permohonan Maaf ke Penjual Es Bakul

Pasalnya, Ia tidak hanya lupa posisi kultural yang disandangnya, yakni sebagai "Gus", simbol "trah" kultural keteladanan para kiai, tetapi ia juga lupa sebagai utusan resmi Presiden dalam bidang toleransi.

Teguran Presiden Prabowo atas ejekan  Miftah terhadap penjual es teh dalam kasus di atas sangat tepat. Publik juga tidak berlebihan saat mulai ramai-ramai mengeluarkan petisi agar Miftah dicopot dari jabatannya sebagai utusan khusus presiden. Hal ini diperlukan untuk menjaga trust negara di depan publik.

Dakwah adalah jalan mulia dan beradab untuk menyampaikan ajaran Islam dengan penuh hikmah dan keteladanan bertutur dan bertindak. Dakwah  tidak hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga soal cara pesan itu disampaikan dan tersampaikan.

BACA JUGA: Gerindra Tegaskan, Perbuatan Gus Miftah ke Penjual Es Tidak Sesuai dengan Ajaran Presiden Prabowo Subianto

Sayangnya dakwah dalam beberapa tahun terakhir cenderung menggunakan humor yang  melampaui batas dan menyakiti perasaan audiens. Padahal cara ini sama buruknya dengan model dakwah yang penuh marah-marah dan caci maki, sehingga  merusak esensi dakwah itu sendiri.

Al Qur'an memberi tuntunan dakwah, melarang mencela dan merendahkan orang lain. Firman Allah "Wahai orang orang beriman, janganlah sekumpulan orang mengolok olok kumpulan yang lain, boleh jadi mereka (yang diolok olok)  lebih baik dari mereka (Q.S. Al hujurat, 11).

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila adalah ide penuntun, sumber nilai dari segala sumber hukum di Indonesia. Pancasila bukan sekadar dasar negara secara formalistik, tetapi lebih dari pada itu Pancasila adalah etika dalam pergaulan di ruang publik.

BACA JUGA: Hadapi Tantangan 2040, Pemerintah Siapkan Lima Pilar Tingkatkan SDM Berkualitas

Tanpa moralitas Pancasila sebagai landasan pergaulan "akhlak publik" dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, peradaban macam apa yang hendak diwariskan kepada generasi anak bangsa mendatang?

Karena itu, penting bagi pendakwah dari kalangan ormas manapun untuk tidak mengolok-olok atau dengan marah marah dan caci maki. Cara-cara seperti itu jauh dari nilai toleransi beragama dan nilai-nilai penuntun Pancasila.

Kasus Miftah yang mengejek pedagang es teh harus menjadi pelajaran berharga bahwa posisi kultural sebagai "Gus" dan sebagai utusan resmi khusus Presiden seharusnya memberi teladan dalam bertutur dan bertindak.

Seorang pendakwah dan utusan khusus Presiden mesti menjaga toleransi dan  menumbuhkan moralitas publik - bukan justru membangkrutkan.

 

Wassalam.

KOMENTAR