Nina dan Oo Dialambaka tentang Kontroversi IPM Indramayu

Oleh: H. Adlan Daie
Klaim "terburu buru" Nina, Bupati Indramayu bahwa IPM Indramayu rendah menurutnya akibat "salah perhitungan" hanya karena bupati berkunjung ke Polytama Balongan menemukan fakta ternyata 70% karyawannya adalah penduduk Indramayu direspon OO Dialambaka, direktur PKSPD, seperti biasa tajam dengan diksi menohok dan menudingnya sebagai."argumentasi sampah, menggelikan dan ngawur".
Menurut Oo "jika maunya bupati seperti itu lantas sikap apa yang harus dilakukan bupati agar IPM Indramayu tidak "salah perhitungan" (Tjimanoek, 22/5/2022), jelas OO, kritikus kebijakan publik lintas rejim kekuasaan politik Indramayu.
Adu klaim narasi Nina dan kontra narasi OO Dialambaka di atas lumrah dalam sistem politik demokrasi di mana Nina adalah Bupati Indramayu produks sistem demokrasi.
Kritik publik Oo Dialambaka terhadap Nina juga adalah bagian dari resiko demokrasi untuk "tukar tambah" gagasan, kontestasi ide dan pikiran dalam konteks mengukur kualitas output dari kebijakan publik.
Itulah yang dimaksud dalam teori Fransis Fukuyama bahwa demokrasi adalah puncak tertinggi peradaban politik di mana keabsahan kebijakan publik salah satunya diiukur kesediaannya membuka ruang kritis dan daya jangkau nalar untuk maslahat publik.
Baca juga
Perempaun Lebih Tertarik Pada Pria Lebih Tua, Mau Tahu Alasannya?
IIPM atau "indeks pembangunan manusia" (lihat tulisan penulis berjudul "Potret Buram IPM Indramayu, 2/12/2019) adalah desain konsepsional UNDP (United Nations Develepment Programme) untuk mengukur suatu negara dengan variabel kumulatif dari aspek pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakatnya untuk menentukan kategori negara maju, berkembang dan terbelakang.
Dalam skala regional Jawa Barat IPM Indramayu dapat dibaca secara komparatif untuk menentukan peringkatnya di Jawa Barat dan seberapa besar kontribusi kinerja Pemda Indramayu terhadap trend kenaikan IPM minimal level progresnya per tahun sesuai laporan BPS .
Dalam kerangka itulah bupati tidak perlu "kesusu" mengklaim kesalahan perhitungan IPM karena satu kasus.
IPM memang tidak bisa hanya diukur dengan cara kerja instan. Tidak dapat diukur pula dengan "menumpuk numpuk" penghargaan.
Baca juga
Erick Thohir Dan Posisi PBNU Dalam PILPRES 2024
Penghargaaan yang "lebay" dan tidak bersambung dengan nalar publik tapi di ekspose besar di media publik seperti penghargaan yang diterima Dirut PDAM yang baru menjabat 'seumur jagung" justru menyumbang "subsidi" citra buruk bagi pejabatnya sendiri.
Jauh dari "kewarasan" nalar publik. Sebuah cara "ngakali" publik secara tidak bermartabat.
Bupati sebagai pemimpin dalam format negara modern dalam teori Mechail Hart, penulis buku "100 tokoh paling berpengaruh di dunia" (1981) haruslah berorientasi ke depan.
Dalam konteks peningkatan IPM maka desain perencanaannya tidak boleh diniatkan untuk "memusuhi rejim masa lalu", tidak dirancang untuk pencitraan politik secara "primitif" dan tidak didesain untuk memenuhi hasrat dan selera pejabatnya melainkan direkonstruksi dalam teori negata negara modern lewat bacaan data survey tentang prioritas kebutuhan perbaikan instrument infrastruktur layanan publik yang secara kuantitatif dapat dibaca dalam postur dan "gestur" rancangan dan pengesahan APBD.
Baca juga
Profesi Ini Sangat Bersinar di Masa Depan
Dari sini bupati berpeluang dipuja dan dipuji karena kinerjanya terukur bagi maslahat publik dan sebaliknya berpotensi dicaci maki atau minimal dikririk pedas, tajam dan menohok ala Oo Dialambaka jika kinerja dan performanya "ambyar".
Resiko selanjutnya "hukum besi pemilu" akan menghakimi untuk tidak dipilih kembali oleh rakyat.
Penelitian LSI Deny JA menemukan fakta bahwa pejabat petahana (incumbent) meskipun memiliki kepanjangan tangan birokrasi bisa menundukkan "fisik" rakyatnya akan tetapi sulit menaklukkan "pikiran" dan pilihan politiknya tanpa tersambung kepuasaan publik atas kinerja pemimpinya.
Maka waktu dua tahun adalah waktu sangat singkat untuk dimaksimalkan bupati meningkatkan kepuasan layanan publik hingga pilkada serentak November 2024.
Baca juga
Orang Introvert Adalah Sosok Orang Tua yang Hebat
Sandaran inilah jalan bupati untuk bisa kembali terpilih kelak dalam pilkada serentak 2024.
Bukan karena pemilik kekuasaan politik dan back up politik di belakanhnya yang terbukti dalam sejarah politik modern selalu kalah oleh "suara tuhan" yang digerakkan rakyat berbondong bondong mendatangi TPS menghakimi pemimpinnya dengan cara tidak memilihnya kembali.
Itulah "vox populi, vox dei", suara rakyat suara Tuhan.
Wallahu a'lamu bish shawab.
**) H. Adlan Daie, Pemerhati sosial politik dan keagamaan.

KOMENTAR