Pejabat Publik Masih Sulit Bedakan Antara Informasi Publik dan Opini Pribadi

Jakarta, Inako
Keterbukan infomasi publik merupakan isu yang relevan terkait dengan pelayanan publik. Sebagai alat komunikasi massa media mempunyai peran penting dalam mewujudkan keterbukaan informasi publik. Sayangnya peran media dalam menyampaikan keterbukaan informasi publik pasca diundangkannya Undang-Undang (UU) 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik masih minim. Kebanyakan media dalam pemberitaan masih didomanasi oleh isu-isu yang berpihak kepada kepentingan pemilik modal.

BACA JUGA: Bill Gates-Warren Buffett Siap Gelontorkan Dana Sebesar Rp 14,32 Triliun Untuk Bangun Reaktor Nuklir
Pernyataan ini disampaikan anggota Komisioner Komisi Informasi (KI) Pusat, Roman Ndau Lendong, dalam acara FGD Strategi Publikasi dan Branding IKIP 2021 bersama Media di Horison Grand Serpong, Kota Tangerang, Banten, minggu lalu.
Sebagaimana diketahui bahwa UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan pertama, hak setiap orang untuk memperoleh Informasi; kedua, kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/ proporsional, dan cara sederhana; ketiga, pengecualian bersifat ketat dan terbatas; keempat, kewajiban Badan Publik untuk mernbenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi.
UU KIP ini menggarisbawahi dengan tebal bahwa salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh Informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BACA JUGA: Sejumlah Anak Muda Jadi Miliader Berkat Mata Uang Kripto
Dalam acara diskusi yang dihadiri sejumlah wartawan dari berbagai media dan anggota KIP, Roman menyoroti kesulitan beberapa pejaba publik yang tidak bisa membedakan antara informasi publik dengan opini atau pendapat pribadi. Bahkan ada pejabat publik yang merasa bahwa apa yang telah disampaikan kepada masyarakat lewat media merupakan infomasi publik, padahal yang disampaikannya sesungguhnya opini pribadi.
“Kami selalu bilang, siapa pun anda, terutama sebagai pejabat publik, kalau bicara di depan publik, haruslah hal yang menyangkut informasi publik. Informasi publik itu adalah informasi yang dihasilkan, dikelola, disimpan, dan sudah diputuskan, bukan opini atau pendapat pribadi. Omongan yang disampaikan oleh pejabat publik itu belum tentu informasi publik, kalau ternyata yang dibicarakan adalah aspirasi,” tegas Roman dalam diskusi tersebut.
.jpg)
Ia juga menegaskan bahwa tokoh publik setingkat Presiden belum tentu menyampaikan informasi publik, kalau hal yang dibicarakanya masih bersifat rancangan yang bersifat pribadi. “Tetapi kalau itu sudah diputuskan dalam bentuk UU, dan Perpres, maka itu disebut Informasi Publik,” tambahnya.
Selain itu, Roman juga mencermati model komunikasi publik pada awal terjadi pendemi Covid-19 di Indonesia. Ia menilai komunikasi publik yang disampaikan para pejabat saat itu berantakan, terutama penjelasan terkait soal sosical distancing dan New Normal.
“Kita tahu bahwa prinsip-prinsip dalam berkomunikasi adalah one voice, utamanya di level pejabat. Penjelasan antara satu menteri dengan menteri lain soal social distancing dan New Normal berbeda, mungkin arah dan kontenya sama. Hal itu terjadi karena informasi yang disampaikan ke publik belum merupakan sebuah keputusan, tetapi masih bersifat rancangan dan opini. Kalau masih bersifat rancangan, maka dibentuklah tim ahli. Karena masih bersifat rancangan maka belum dikatakan sebagai informasi publik,” tambah Roman.
LSM dan Partai Politik
Dalam kesempatan yang sama, pakar kebijakan publik dan juga wartawan senior, Stainly, menyinggung soal kewajiban lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Partai Politik untuk membuka informasi kepada publik terkait sumbangan dana yang mereka terima, baik dari donor internasional, APBN, maupun APBD.

BACA JUGA: RIPTIK KemenkopUKM Didorong Jadi Navigasi Pengembangan UMKM oleh Pemerintah dan Stakeholder
Menurut Stainly, LSM mempunyai kewajiban untuk mengungkapkan kepada publik berapa jumlah sumbangan yang mereka terima dan dipakai untuk kepentingan apa, termasuk sumber dana tersebut. Namun hal yang terjadi selama ini banyak LSM yang menjadi pemohon informasi, justru tidak menjalankan kewajiban mereka untuk membuka informasi.
Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah partai politik. Mereka tidak pernah menjelaskan berapa jumlah sumbangan yang mereka terima dan dari kelompok mana saja. Bahkan ada partai yang menulis sumbangan hingga Rp 1 miliar berasal hamba Allah. Padahal sudah ada aturan bahwa sumbangan sebesar Rp 1 miliar wajib ditulis nama penyumbangnya.
“Kita tahu bahwa praktik money politik masih terus terjadi hingga saat ini, terutama saat pesta Pilkada. Mereka tidak pernh membuka informasi, misalnya besarnya sumbangan yang diberikan, dan berasal dari siapa sumbangan tersebut, serta dipaka untuk kepentingan apa. Sumbangan itu seringkali dikloning. Tidak bisa ditulis kalau sumbangan itu sebesar Rp 1 miliar berasal dari hamba Allah,” tegas Stainly.
KOMENTAR