Pelaku Penyiksaan Bebas, Negara Melanggengkan Impunitas

Hila Bame

Saturday, 26-06-2021 | 10:45 am

MDN

 

JAKARTA, INAKORAN

Dalam rangka memperingati Hari Dukungan bagi Korban Penyiksaan Sedunia 2021, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali merilis laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia selama satu tahun kebelakang, demikian diterima INAKORAN Sabtu (26/6/21)'

 

Secara ringkas, kami menemukan sejumlah sebab peristiwa penyiksaan yang tak kunjung henti, yakni:

a. Tindakan pengawasan yang tidak pernah dilakukan secara ketat dan menyasar pada akar masalah. Lebih jauh, terdapat pembiaran yang dilakukan oleh atasan terhadap beberapa tindakan penyiksaan;

b. Penegakan hukum (law enforcement) yang tidak menjerakan pelaku penyiksaan. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku lepas dari hukuman dan menikmati ruang-ruang impunitas;

c. Penyiksaan yang merupakan bagian dari kultur kekerasan masih dinormalisasi di tengah-tengah masyarakat. Paradigma masyarakat justru masih mendukung aparat melakukan tindakan penyiksaan dengan motif penghukuman, semisal dalam kasus pelaku begal;

d. Instrumen hukum positif Indonesia yang belum mengakomodir tindakan penyiksaan atau mengkriminalisasi penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), delik penyiksaan bahkan belum diatur. Mayoritas kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat biasanya hanya dijerat dengan tindak pidana penganiayaan biasa.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh KontraS, periode Juni 2020 – Mei 2021,

terdapat 80 kasus penyiksaan,

perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia telah terjadi di Indonesia.

Angka tersebut tentu saja tidak menutup kemungkinan jumlah kasus riil yang lebih besar. Dari total 80 kasus penyiksaan, kepolisian masih menjadi aktor utama dalam kasus-kasus penyiksaan, disusul dengan TNI dan juga Sipir.

80 kasus tersebut menimbulkan sebanyak 182 korban dengan rincian 166 korban luka dan 16 korban tewas, dengan penyiksaan tertinggi terjadi pada wilayah Aceh (34 Kasus), Papua (7 Kasus) dan Sumatera Utara (5 kasus).

Kami juga melihat bahwa praktik Cyber Torture terus berlanjut. Setidaknya ada pola yang berulang dari kasus-kasus cyber torture ini, yakni adanya peretasan yang dilakukan secara sistematis dan massal. Selain itu, pelaku juga melakukan penyerangan siber terarah (targeted digital attack).

Kasus-kasus tersebut pun dilatarbelakangi oleh motif politik yakni pihak-pihak yang secara lantang menyeimbangkan diskursus pemerintah (Kasus Papuan Lives Matter, Aktivis Menolak Omnibus Law, Kritik terhadap penanganan COVID-19, dan Kasus TWK KPK). Sementara itu, Negara pun sangat pasif dalam merespon beberapa peristiwa tersebut. 

Jika dilihat dari dari kecenderungan praktik penyiksaan yang telah dipaparkan di atas, mulai dari aktor, motif, metode, lokasi penyiksaan, selama bertahun-tahun pola yang terbentuk masih sama.

Hal ini menunjukkan tidak upaya perbaikan secara signifikan dan serius yang dilakukan oleh Negara. Kami juga melihat bahwa kecenderungan impunitas semakin menguat.

Mayoritas kasus berhenti pada mekanisme internal institusi belaka yang tidak menjawab keadilan bagi korban. Selain itu, jalan lainnya seperti dipaksa untuk berdamai, ketiadaan respon dan jawaban dari aparat hingga diintimidasi untuk mencabut laporan.

Siaran Pers dapat disaksikan di https://www.youtube.com/watch?v=_qG2IfGhUT0

Laporan utuhnya dapat diakses di https://kontras.org/2021/06/25/laporan-situasi-praktik-penyiksaan-dan-perlakuan-atau-penghukuman-lain-yang-kejam-tidak-manusiawi-atau-merendahkan-martabat-manusia-di-indonesia-periode-juni-2020-mei-2021/

 

TAG#KONTRAS, #TNI, #POLRI

190325828

KOMENTAR