Polri, Kesadaran Akan Sejarah

Hila Bame

Sunday, 29-06-2025 | 12:08 pm

MDN

 

Bagian 1 dari 3 tulisan

Oleh: 

Suryadi

Pemerhati Budaya & Kepolisian

JAKARTA, INAKORAN

“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Begitu

kata pepatah lama mengena siapa pun yang harus

mau koreksi diri ketika terkritisi atau sebaliknya,

tersanjung. Tentu saja, antara lain dengan bertanya ke

dalam diri sendiri, “Benarkah hanya setitik atau banyak titik?”

Itu sebabnya mungkin Kapolri Jenderal Drs. Listyo Sigit

Prabowo, M.Si optimistik melihat  "Masih banyak

Polisi yang baik...."  (Lembang, Jabar, Rabu, 27/10/21).

Sementara, Komjen Pol. Drs. Imam Widodo, M.Han., Komandan

Korps Brigade Mobil (Brimob), salah seorang pemimpin

Satuan Kerja/ Pelaksana Utama Polri dengan rendah

 hati memberi pengakuan, "Bagaimanapun, saya adalah

Brimob Polri" (beberapa kali kepada penulis dalam sejumlah

kesempatan  di ruang kerjanya di Mako Brimob, Kelapadua, Depok).

 

TANGGAL 1 Juli 2025 Kepolisian Negara Republik Indonesia berulang tahun yang ke-79 (HUT Polri).  

Kerap pula disebut sebagai Hari Bhayangkara. Momen ini, merupakan salah satu media evaluasi tahunan. Sebelumnya, evaluasi tentu juga dilakukan setiap hari. Bahkan, tiap kali berakhir menjalankan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).

Pada tingkat perencanaan pun berkali-kali diujicobakan demi suatu kelayakan. Layak bagi institusi, pelaksana, dan bangsa. Sehingga, capaian tujuan sebagai hasilnya bermanfaat selain menurut undang-undang, juga kemanusiaan.    

Ada satu penanda tebal di jelang HUT Polri tahun 2025: Pertama, berhembusnya angin pergantian Kapolri ke-25 yang telah dijabat sekitar enam tahun dan dua Presiden –dalam dua priode kepresidenan RI-- oleh Jenderal Sigit. Kedua, perputaran alami  pensiunnya sejumlah jenderal, di antaranya bintang tiga –satu jenjang kepangkatan yang terdekat dengan jenderal penuh yang “selayaknya” di tubuh Polri hanya dimiliki Kapolri.

Bukan soal alih generasi itu yang utama dibahas dalam tulisan ini, melainkan tentang makna sejarah yang penting dihikmahi oleh segenap insan Bhayangkara. Apalagi, setiap kali memeringati Hari Bhayangkara, pada tahun yang sama Polri juga memeringati Hari Juang Kepolisian (HJK) 21 Agustus --lebih tua daripada Hari Bhayangkara.

          Dua hari bersejarah tersebut, tentu, ditetapkan bukan dengan semangat kompromi, tetapi karena keduanya memang patut menjadi tonggak sejarah atas keberadaan Polri. Polri  bukan sekadar sebuah nama institusi belaka.

Apalagi, keberadaan kedua hari bersejarah tadi saling berkait dan terkait dengan memertahankan keberadaan Republik Indonesia (RI) merdeka.

Kemerdekaan RI, sebagaimana dunia mahfum, direbut dan kemudian diproklamasikan sendiri oleh Bangsa Indonesia  pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan yang bukan merupakan pemberian penjajah, sebagaimana dipahami oleh keawaman terhadap arti perjuangan.

Berarti, hanya empat hari pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, kemerdekaan itu langsung direspons oleh para pemuda Indonesia yang berada dalam tubuh Kepolisian Jepang (Tokubetsu Kei Satsutai), dengan jawaban: “Kami adalah Polisi Indonesia”.

Polisi Indonesia

HARI-hari jelang Hari Bhayangkara, Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di Jalan M. Jasin, Kelapadua, Depok, disemarakkan oleh persiapan merayakan Hari Bhayangkara.

Di Kesatrian “Amji Attak” itu, berbagai satuan kerja dalam tubuh Polri, antara lain Brimob dengan berbagai Satuan Kerja (Satker)-nya, Baharkam berikut Satkernya juga, dan Korlantas  dengan Satkernya pula,  berkumpul menyatu berlatih. Mereka Polri.

   Mereka berlatih keterampilan seraya mengasah otak dalam satu komando prosedural, agar mampu tampil seapik mungkin pada 1 Juli 2025. Rencananya, peragaan ini digelar dalam upacara di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, dengan Presiden RI sebagai inspetur upacara.

Tujuannya, tentu bukan pertunjukan semata, tetapi agar disaksikan oleh masyarakat Indonesia, bahwa mereka siap dengan identitas: “Polisi  Indonesia”.

Teladan

IKAN busuk mulai dari kepalanya. Ikan tak akan ada manfaatnya lagi kalau sudah jadi bangkai. “Busuk  itu mulai dari kepala!”

Tak jarang kerusakan dimulai dari motivasi-motivasi pribadi, termasuk dari anggota keluarga terdekat. Tak peduli itu perwira, bintara, atau tamtama; atasan atau bawahan.

Boleh jadi, hal itu akibat motivasi dari dalam diri sendiri yang menginginkan hidup mewah kaya-raya --terkadang berlebihan--, bersama keluarga, meskipun banyak orang harus jadi korban. Teori terjadinya kriminal pun berlaku; “ada niat, ada kesempatan” atau “kesempatan” yang menjadikannya terjerumus.

Capaian yang bersifat kebendaan berlebihan, itulah yang dianggap sebagai kekayaan sejati. Simpulnya, sadar atau tidak telah terjebak atau menjebakkan diri  sebagai penganut  hedonism (baca: paham kesenangan, hingga hilang tenggang rasa).

“Kerusakan” semacam itu kerap dipertontonkan, meski sesungguhnya secara dini telah ada peringatan, baik pasif maupun aktif. Tetapi, tak demikian dengan Wakil Presiden (Wapres) I, Alm. Mohammad Hatta (Bung Hatta) dan Kapolri ke-5, Alm. Hoegeng Iman Santoso (Hoegeng). Mereka teladan baik bagi beragam lingkungan, yakni keluarga inti,  kerja, maupun masyarakat.

 

TAG#SURYADI, #POLRI

201214906

KOMENTAR