Program Bansos dan Pimpinan Daerah yang Diskriminatif

Hila Bame

Thursday, 29-04-2021 | 05:14 am

MDN

 

 

Oleh: KH Saiful Ma`shum

 

JAKARTA, INAKORAN 

 

Untuk mengamankan pendapatan dan kebutuhan hidup warga Indonesia Pemerintah telah menggelontorkan program Bansos sebagai jaring pengaman, mulai  Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja,  penurunan tarif listrik, operasi pasar murah dan pemberian keringanan pembayaran kredit.

Hal itu disampaikan Nurul Farijati, S.H.,M.H., Sekretaris Ditjen  Fakir Miskin Kemensos dalam webinar yang diselenggarakan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) bertema “Bansos dan Problema Identitas Kependudukan Warga”, kemarin.  Webinar juga menghadirkan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Prod. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, dan wartawan senior Kompas, Mohammad Bakir, yang dipandu oleh Fika Rose Marie, penyiar Radio BRAVA.

Untuk mendapatkan Bansos masyarakat  diwajibkan melampirkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syaratnya. Sayangnya masih ada sebagian warga yang belum mendapatkan Bansos karena tidak mempunyai  identitas diri atau KTP.

Hal ini terekam dari survei singkat IKI kepada beberapa warga di Bandung Barat, Jawa Barat dan Pandeglang, Banten.

Ada sebagian yang mendapat Bansos enam kali, bahkan hingga 10 kali. Namun ada juga yang hanya mendapatkan sekali saja. Bahkan ada yang tidak mendapatkan Bansos sama sekali karena tidak memiliki KTP atau identitas lainnya.

Kementerian Sosial memiliki dua program sosial bagi warga yang kurang beruntung. Yang pertama adalah program existing. Program ini merupakan lanjutan program lama untuk membantu fakir miskin yang tersebar di 33 provinsi (minus DKI Jakarta). 

Nurul menjelaskan bahwa ada beberapa keluarga yang menerima bantuan pada 2020 berupa beras adalah mereka yang tergolong dalam program existing  Kemensos.

Pada tahun 2016, 2017, 2018 hingga 2019 jumlah keluarga penerima manfaat berkisar 15, 6 juta.  Namun memasuki 2020 jumlah orang penerima manfaat bertambah.

Yang kedua adalah program Bantuan Sosial Tunai (BST) sebesar Rp600 ribu. 

Pertambahan jumlah penerima Bansos terjadi akibat terdampak covid19, dari 15,6 juta   menjadi 20 juta KPM,  dan pada 2021 berkurang menjadi sekitar  18.8 juta. Nurul juga menyampaikan bahwa untuk mendapatkan Bansos warga harus memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang ada di KTP.  Untuk tahun  2021 ini Pemerintah telah menganggarkan bantuan mencapaiRp 57 triliun lebih. 

Menanggapi video yang merekam testimoni  warga yang tidak mendapatkan Bansos karena tidak memiliki dokumen kependudukan, Dirjen Dukcapil mengatakan bahwa perekaman administrasi kependudukan di Indonesia mencapai 99,11% pada 31 Desember 2020.   Sisanya sebesar 0,89%, atau sama dengan 2,4 juta warga, belum melakukan perekaman, yang tersebar di seluruh Indonesia. 

Lebih lanjut Zudan menjelaskan bahwa Bansos memiliki cakupan wilayah yang berbeda-beda. Pertama adalah Bansos nasional. Siapa pun yang memiliki KTP secara nasional akan dapat Bansos. Kedua adalah Bansos provinsi, penerimanya adalah warga yang memiliki KTP  dan tinggal di salah satu provinsi. Yang ketiga adalah Bansos kabupaten. Selain itu ada lagi Bansos berbasis dana desa. Maka yang menerima manfaat adalah mereka yang tinggal di suatu desa. 

Yang menjadi problem kemudian adalah ketika provinsi membagi Bansos bagi warga yang tinggal di wilayahnya. “Yang mendaftar banyak, tetapi ternyata bukan penduduk provinsi tersebut,” ujar Zudan. Hal ini terjadi ketika Zudan  merapikan data penerima Bansos di DKI. Ternyata di antara warga yang mendaftar adalah  penduduk Sumut, Jabar dan daerah lain.

Dirjen Dukcapil juga menyampaikan tingginya tingkat mobilitas perpindahan penduduk Indonesia. Perpindahan penduduk sejak Januari-Februari Maret 2021 mencapai 1.5 juta orang.

Jika terjadi perpindahan penduduk dan penduduk tidak melapor ia tidak akan menerima Bansos,  meskipun yang bersangkutan mempunyai KTP.

Mohammad Bakir, wartawan senior Harian Kompas,  mensinyalir bahwa program Pemerintah telah dijalankan sesuai dengan aturan  (Perpres)  yang berlaku. Hanya saja warga penerima manfaat program bantuan akan berubah-ubah sesuai kebijakan kepala daerah. 

Kepala daerah yang menang pilkada,  lanjut Bakir, akan mengutamakan pendukungnya.”Karena itu lazim terjadi  jika si A menang di pilkada maka yang diprioritaskan menerima manfaat bantuan hanya pendukung si A saja.

Demikian juga jika kepala desa berganti,  maka penerima Bansos akan berganti juga. “Mengapa hal ini terjadi? Karena bantuan dari Negara tidak mencakup seluruh warga miskin yanga ada. Dana negara sangat terbatas,” terang Bakir. 

Kemensos hanya menerima data dari kabupaten/kota. Dan kabupaten/kota menerima data dari desa dan kelurahan. Nah, di desa dan kelurahan yang bermasalah dan ada hubungannya dengan pergantian kepala daerah  ini terjadi diskriminasi pembagian Bansos.

“Ini problem utama kita. Dari pengalaman saya sebagai wartawan, al ini hampir terjadi di banyak wilayah. Selain itu APBN kita sangat terbatas dan sumber data kita banyak sekali," ujarnya.

Selanjutnya Bakir mengusulkan agar sumber data yang ada diintegrasikan (disinkronisasikan dengan data di Dukcapil), dan bekerjasama dengan universitas/perguruan tinggi yang ada di daerah.

Menurut Bakir, banyak bupati dan walikota yang tidak peduli dengan penduduk miskin yang ada di daerah masing-masing. "Coba tanya ke bupati berapa jumlah penduduk dan jumlah penduduk miskin, banyak yang tidak tahu," tuturnya. 

Albertus Pratomo, Sekretaris Umum  IKI,  berharap ke depan Kemensos bisa bekerja sama dengan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) untuk melayani masyarakat, utamanya masyarakat marginal dan terlupakan. 

IKI selama ini mendampingi warga secara gratis mengurus dokumen  kependudukan mulai dari akta kelahiran, surat nikah, KTP, Kartu Identitas Anak, dan dokumen lain.  “Termasuk membantu pengurusan akta kelahiran warga panti asuhan yang tidak diketahui orang tuanya, warga kolong jembatan, kelompok pemulung dan banyak warga tanpa identitas dengan berbagai kondisi yang tidak menguntungkan,” ujar Tomi. 

Sementara Rikard Bagun, Ketum IKI, mengatakan bahwa Bansos adalah amanah  dan membutuhkan perhatian pada setiap level. “Bantuan sosial adalah amanah. Secara spiritual semua agama mengajarkan kita untuk membantu orang lain,” lanjut Rikard yang juga Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)  itu.

Webinar diikuti oleh para dosen, wartawan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan para Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil  dari wilayah Barat, Tengah dan Timur Indonesia mencapai 300 peserta. 

 

**) KH Saiful Ma`shum Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI)

KOMENTAR