H. Dedi Wahidi dan Panggilan Ibu Pertiwi

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Bara
Indramayu, Inako
Judul tulisan di atas paksaan nyaris sistemik dari sejumlah kader Nahdlatul Ulama (NU), kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), para pensiunan dan birokrat aktif kepada penulis. Mereka umumnya memiliki relasi humanistik dengan kesan membatin dan tali ikat silaturahim yang terpelihara sangat baik dengan H. Dedi Wahidi baik sebagai tokoh NU, kader PKB dan mantan Wakil Bupati Indramayu maupun dalam konteks hubungan insaniyah dalam segala strata level sosialnya.
Mengutip makalah Rocky Gerung berjudul "Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat"(1992) suasana kolektif kebatinan dan akal sehat mereka tergerak secara sublimatif, partisipatif dan non rekayasa mobilisasi untuk menghadirkan H. Dedi.Wahidi turun ke Indramayu. Ibarat lagu anak sekolah 'Ibu Pertiwi", Indramayu tempat lahir dan tumbuh berkeringat di dalamnya kini sedang lara dan bersedih memanggilnya pulang.
Problem Indramayu hari ini membutuhkan kehadiran H. Dedi.Wahidi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) nya mangkrak, yakni masyarakatnya rentan sakit, SDM nya rendah, daya belinya lemah, arus investasi mampet, layanan publik dibawah standar layanan TIKI dan sumber daya birokrat yang bagus tapi salah asuhan tidak cukup hanya menghadirkan seorang bupati bermental mesin birokratis, miskin visi, fakir narasi dan minus jejak prestasi.
Problem problem Indramayu diatas dan sisi gelapnya pasca OTT KPK relatif akam mampu dikanalisasi solusinya oleh kehadiran H. Dedi Wahidi dengan rekam jejak politiknya yang bersih, ketokohannya bermagnit kuat, kepemimpinannya berpengaruh, basis sosialnya legitimated di akar rumput dan pengalaman politiknya mapan sebagai mantan wakil bupati Indramayu dan kini di periode ketiga di DPR RI mewakili Indramayu dan Cirebon.
Memimpin lebih dari dua juta penduduk Kabupaten Indramayu bukan urusan sederhana dan bukan perkara, mudah kecuali jika memimpin sekedar diartikan untuk menggagah gagahkan diri dengan aksesoris protokoler di ruang publik. Terlalu mahal ongkos pilkada Indramayu 2020 sebesar 90 milyar bersumber dari pajak rakyat dan terlalu besar energi rakyat terkuras oleh kebisingan proses pilkada hanya untuk memilih bupati miskin visi, gagap narasi dan hampa inner power kepemimpinan politik.
Bupati adalah jabatan elected leader, seorang pejabat yang dipilih dalam proses suksesi kepemimpinan politik. Tugas dan tanggungjawab kepemimpinan bupati tidak cukup sekedar urusan administrasi birokrasi, memutasi birokrat dan mengutak atik proyek. Kepemimpinan bupati mengadaptasi pandangan Michael H. Hart dalam bukunya The 100: A Ranking Of the most infuential Persons In History point pentingnya adalah menggerakkan harapan kolektif masa depan rakyat yang dipimpinnya dan mempengaruhi sistem kerja birokrasi untuk menggairahkan partisipasi publik.
Variabel kepemimpinan di atas sebagaimana digambarkan pula secara bergelora oleh Garet Jones dalam bukunya Tell Them We Are Starving relatif telah inheren dalam sosok H. Dedi.Wahidi dengan khazanah pengalaman politiknya. Karena itu, seperti harapan banyak pihak di atas kehadiran H. Dedi.Wahidi ibarat obat pelipur lara bagi indramayu yang sedang lara dan bersedih pasca kasus OTT KPK dan sengkarut problem sosial lainnya yang tidak bisa lagi ditutupi ditutupi oleh khotbah khotbah para pejabat manipulatif dan muslihat birokrasi salah asuhan.
Pertanyaannya, jika hingga hari ini H.Dedi Wahidi belum berminat turun melipur hati masyarakat Indramayu yang sedang lara dan bersedih tentu bukan karena sebagaimana umumnya tokoh NU yang rendah hati (tawadu') saling menawarkan diri yang lain untuk menjadi imam sholat, misalnya, dan secara intermezo politk bukan pula ibarat bang Toyyib yang tidak pulang tiga kali puasa tiga lebaran melainkan menurut pandamgan penulis menghindari jebakan sistem politik biaya tinggi. Jebakan politik.biaya.tinggi inilah yang selama ini dihindari H.Dedi.Wahidi karena dari sini sumber racun korupsi jual beli jabatan, ijon proyek dan lain lain.
Inilah problem politik elektoral biaya tinggi hari ini. Kasus OTT KPK terhadap H. Supendi, mantan bupati Indramayu, hanyalah nasib sial yang dialaminya. Sistem politik elektoral ibarat rentenir politik yang memaksa bupati jual beli jabatan, ijon proyek, bisnis perijinan dan lain lain untuk tambal sulam.dan tukar tambah pengembalian modal politik dan pemeliharaannya. Kita tinggal menunggu siapa giliran berikutnya mengikuti jejak H. Suoendi.
Maka, jika kita merindukan H. Dedi.Wahidi turun memenuhi panggilan ibu pertiwi, indramayu, yang sedang lara dan bersedih tentu jalan politik bergotong royong baik pikiran, tenaga dan logistiknya untuk menghindari keterpihamnya terjebak dalam ijon politik Sumber dari segala racun prilaku koruptif. Dari sini kita bisa pelan pelan meninggalkan kebanggaan terhadap model bupati rawan korupsi, miskin visi, gagap narasi, dan minim prestasi.
Sungguh sia sia dan mubadzir jika uang dan energi rakyat tertumpah dalam kontestasi pilkada Indramayu hanya melahirkan bupati hasil ijon politik, tanpa."ruh" kepemipinan politik. Raga bupati tanpa jiwa pemimpin. Bupati dari input muslihat hasil dan out put hanya mafsadat (merusak dan koruptif).
Semoga bermanfaat.
TAG#Indramayu, #Pilkda Indramayu, #Dedi Wahidi
190316434

KOMENTAR