Harga Minyak Dunia Kembali Melemah: Pasar Pantau Ancaman Sanksi AS ke Rusia

Sifi Masdi

Wednesday, 16-07-2025 | 11:35 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak global kembali mengalami tekanan pada perdagangan Selasa (15/7/2025) atau Rabu pagi waktu Indonesia, seiring meredanya kekhawatiran pasar terhadap potensi sanksi langsung dari Amerika Serikat terhadap Rusia. Sentimen utama datang dari keputusan Presiden AS Donald Trump yang memberikan tenggat waktu 50 hari kepada Rusia untuk mengakhiri perang di Ukraina.

 

Mengutip laporan CNBC, harga minyak mentah Brent berjangka turun sebesar 50 sen atau 0,72% menjadi USD 68,71 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 46 sen atau 0,69%, ditutup di USD 66,52 per barel.

 

Menurut Analis Komoditas UBS, Giovanni Staunovo, pasar sebelumnya sempat tegang karena isu sanksi AS, namun keputusan Trump untuk memberi waktu tambahan meredakan ketakutan terkait gangguan pasokan global.

 


BACA JUGA:

Harga Emas Antam Turun Rp6.000 Per Gram: Rabu (16/7/2025)

Rekomendasi Saham Pilihan : Rabu (16/7/2025)

Harga Minyak Terkoreksi Tipis: Pasar Cermati Sanksi AS Terhadap Rusia


 

“Selama ini pasar fokus pada potensi sanksi langsung dari Trump, namun tenggat waktu 50 hari justru memberikan harapan bahwa ketegangan bisa mereda,” jelas Staunovo.

 

Namun, analis memperingatkan bahwa jika Trump tetap melanjutkan rencana sanksi setelah 50 hari berakhir, pasar bisa kembali bergejolak. Analis dari ING menyebut bahwa langkah sanksi akan “mengubah prospek pasar minyak secara drastis.”

 

Tiga negara yang paling terdampak jika sanksi diterapkan adalah Tiongkok, India, dan Turki, yang merupakan pembeli utama minyak mentah Rusia. Mereka akan menghadapi dilema antara memanfaatkan harga diskon minyak Rusia dan risiko pembalasan ekspor ke pasar Amerika.

 

Selain isu sanksi, Trump juga mengumumkan tarif 30% untuk sebagian besar impor dari Uni Eropa dan Meksiko mulai 1 Agustus 2025. Tarif ini juga mengancam diberlakukan kepada negara lain, dan hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global.

 

Jika pertumbuhan ekonomi melambat, permintaan energi pun bisa turun, yang pada akhirnya menekan harga minyak lebih jauh. Di tengah situasi ini, data ekonomi terbaru dari Tiongkok menambah kekhawatiran.

 

Analis dari IG, Tony Sycamore, menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok di kuartal kedua memang berada di atas ekspektasi berkat dukungan fiskal, namun data lainnya tetap mengkhawatirkan.

 

“Melemahnya ekspor, turunnya harga, dan rendahnya kepercayaan konsumen di Tiongkok menjadi sinyal waspada bagi pasar, termasuk komoditas seperti minyak dan bijih besi,” jelas Sycamore.

 

Di sisi lain, ada sentimen positif dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Menurut Sekjen OPEC yang dikutip media Rusia, permintaan minyak diperkirakan tetap tinggi hingga kuartal III 2025, menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan dalam jangka pendek.

 

 

KOMENTAR