Nasi Kolo dan Tibu Jadi Menu Utama Dalam Pentas Seni Budaya Manggarai di GOR Bulungun  Jakarta

Sifi Masdi

Friday, 01-08-2025 | 15:23 pm

MDN
Warga IKAMASI bergotong royong membakar Nasi Kolo [inakoran]

Jakarta, Inakoran

Perayaan Misa Raya dan Pentas Seni Budaya Manggarai yang digelar di GOR Bulungan, Blok M, Jakarta,   akan menghadirkan hal-hal unik bagi komunitas Manggarai diaspora Se-Jabodetabek. Acara ini tak hanya menampilkan kekayaan seni dan tradisi, tetapi juga memanjakan lidah untuk Ase Kae dan para tamu undangan dengan kuliner khas Manggarai yang unik.

 

Sebagai menu utama, panitia sepakat menyuguhkan Nasi Kolo atau dikenal juga sebagai Tapa Kolo (nasi bambu), dan Tibu (daging bambu), dua hidangan yang dimasak dengan cara tradisional Manggarai. Keunikan cara memasak ini menjadi daya tarik tersendiri, sekaligus memperkenalkan kekhasan kuliner Manggarai kepada masyarakat Jakarta. Untuk memastikan cita rasa otentik, pembuatan Nasi Kolo dipercayakan kepada Komunitas Ikatan Keluarga Besar Manggarai Bekasi (IKAMASI).

Damianus Ambur (ke-4 dari kanan) dalam pertemuan IKAMADA di Gedung KWI Jakarta [inakoran]

 

Damianus Ambur, Ketua IKAMASI, mengatakan, Kolo adalah nasi yang dibakar dalam bambu dan hanya boleh dilakukan setahun sekali. Ini merupakan  bagian dari ritual adat dan hanya dibuat pasca panen.

 

“Jadi tidak setiap saat dibakar. Dibakar pada saat acara penti/kalok/jurang. Bahan bakunya harus dari beras hasil panen tahun sebelumnya. Tidak boleh beras dari hasil panen yang baru,” tegas pria yang akrab disapa Kraeng Dami  dalam keterangan  singkatnya kepada Inakoran, Jumat, 1 Agustus 2025.

 


BACA JUGA:

Jejak Para Pengabdi dan Perintis IKAMADA di Tanah Rantau

Uskup Datus Lega akan Pimpin Misa Raya Manggarai di GOR Bulungan, Blok M, Jakarta


 

Menurut pria asal Dampek, Manggarai Timur ini, pembuatan Nasi Kolo yang  tidak sesuai dengan ritual adat akan didenda secara adat. “Biasanya bakar di depan rumah setelah proses ritual adat sebelumnya. Sebelum dibakar, setiap keluarga harus bawa 2 batang (bambu) yang belum diisi beras didalamnya untuk didoakan secara adat dan disiram pake darah ayam. Setelah itu baru boleh dibakar,” tambah Dami.

 

Dami menegaskan bahwa Nasi Kolo tidak boleh dibuat sembarangan di luar acara adat resmi, seperti penti/kalok/jurang (acara syukuran). Jika ada yang nekat melanggar aturan ini, sanksi adat akan menanti. "Kolo boleh dibakar, tetapi harus dilakukan di tempat lain dan tidak boleh dibawa pulang ke kampung," jelas Dami.

Para Ibu IKAMASI sibuk menuangkan beras ke dalam bambu untuk dijadikan Nasi Kolo [inakoran]

 

Aturan ini menunjukkan betapa sakralnya Nasi Kolo dalam konteks sosial dan spiritual masyarakat Manggarai. Namun, ada pengecualian. "Nasi Kolo bisa dibuat kapan saja, tapi harus dibakar di kali, tidak boleh dibawa ke kampung, atau harus dimakan habis di tempat," tambahnya.

 

Tradisi membuat Nasi Kolo biasanya dilakukan pada malam hari di halaman rumah setelah upacara adat di rumah gendang. Suasana saat itu sangat meriah, meskipun hasil panen yang disyukuri tidak terlalu banyak. Kemeriahan ini bahkan sudah dirasakan oleh warga kampung satu atau dua minggu sebelumnya.

 

"Di kampung kita, ada tradisi, sebagian kolo yang dibakar pada malam hari, dibagikan kepada Anak Wina keesokan harinya, meskipun kampungnya jauh" kenang Dami. Sebagai balasan, Anak Wina biasanya akan memberikan hadiah berupa ayam atau uang. "Saya paling rajin dulu. Karena wali dengan manuk (ayam) atau uang," imbuh Dami.

 

Kuliner Khas

Nasi Kolo, atau Tapa Kolo, telah lama dikenal sebagai kuliner khas yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Lebih dari sekadar hidangan lezat, makanan ini adalah cerminan budaya, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat Manggarai yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

 

Apa yang membuat Nasi Kolo istimewa adalah cara pembuatannya yang unik. Berbeda dari nasi pada umumnya, Nasi Kolo dimasak di dalam potongan bambu. Proses pembakarannya memakan waktu sekitar enam jam, di mana bambu harus terus dibolak-balik agar nasi matang merata tanpa gosong. Hasilnya adalah nasi yang pulen dengan aroma khas bambu.

 

Untuk menambah cita rasa, nasi ini dimasak dengan santan dan bumbu kaldu yang membuatnya terasa gurih. Setelah matang, nasi bambu disajikan dengan dipotong-potong setebal 2 sentimeter, siap untuk disantap.

 

Nasi Kolo memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Manggarai. Hidangan ini kerap disajikan dalam upacara adat dan menjadi simbol persatuan, kebersamaan, dan keberkahan. Kehadirannya dalam acara-acara sakral menegaskan kuatnya ikatan antar anggota komunitas.

 

Selain itu, Nasi Kolo juga mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan bahan-bahan alami dari lingkungan sekitar. Sebagai hidangan yang dibuat dari tradisi nenek moyang, Nasi Kolo bukan hanya mengenyangkan perut, tetapi juga memperkaya keragaman kuliner khas NTT, menjadikannya sebuah identitas budaya yang patut dibanggakan.

 

Tibu  Pasangan Serasi Nasi Kolo

Menikmati  Nasi Kolo rasanya tidak lengkap kalau tidak ditemani dengan Tibu (daging bambu). Keduanya tak hanya lezat, tapi juga menyimpan cerita unik dari tradisi leluhur. Jika Nasi Kolo disajikan sebagai hidangan utama, maka Tibu adalah lauk pendamping yang menciptakan perpaduan rasa yang sempurna.

 

Tibu adalah metode memasak tradisional yang memanfaatkan bambu sebagai wadah. Prosesnya dimulai dengan memasukkan bahan-bahan seperti daging dan sayuran, lengkap dengan bumbu-bumbu, ke dalam ruas bambu. Bambu tersebut kemudian dibakar dengan jarak tertentu dari nyala api. Teknik pembakaran ini sangat unik, di mana bambu tidak langsung hangus, melainkan menghasilkan panas yang merata. Hasilnya, daging dan sayuran matang dengan sempurna, dan yang paling istimewa, masakan akan memiliki aroma khas bambu yang menggugah selera.

 

Selain daging dan sayuran, metode tibu juga bisa digunakan untuk memasak bahan lain. Beberapa jenis umbi-umbian seperti talas dan singkong juga sangat cocok diolah dengan cara ini, menghasilkan rasa dan tekstur yang istimewa.

 

Sejarah Tibu berawal dari kearifan lokal masyarakat Manggarai di masa lalu. Dahulu, para petani atau pemburu seringkali tidak membawa peralatan masak lengkap seperti periuk saat pergi ke ladang atau hutan. Bambu yang mudah ditemukan di alam menjadi solusi praktis sebagai wadah memasak darurat. Mereka memasukkan hasil buruan seperti ayam atau babi hutan ke dalam bambu dan membakarnya.

 

Siapa sangka, metode yang lahir dari keterbatasan ini justru menghasilkan rasa yang begitu lezat. Aroma bambu yang meresap ke dalam masakan membuat hidangan terasa lebih nikmat dan berbeda. Karena kelezatannya, kebiasaan memasak dengan cara Tibu ini terus dilanjutkan, dari generasi ke generasi, hingga menjadi salah satu tradisi kuliner yang dibanggakan oleh masyarakat Manggarai.

 

Ase kae  Mangggari yang ingin menikmati kelezatan Tapa Kolo dan sensasi aroma yang keluar dari Tibu, datanglah  ke Misa Raya dan Pentas Budaya Manggarai di GOR Bulungan, Sabtu, 2 Agustus 2025. Hanya dengan cara demikian  Ase Kae menjadi bagian dari orang-orang yang mimiliki WAKE’ NCALLER  NGGER WA, SAUNG BE’MBANG NGGER ÉTA, sebuah frase yang menjadi tema utama pagelaran budaya kali ini.


 

KOMENTAR