PBNU, Kemenkeu dan Rezim Jokowi

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Indramayu, Inako
Klarifikasi Menteri keuangan Sri Mulyani dan konferensi pers juru bicara Kementerian Keuangan, Nufransa Wita Sakti, atas kritik keras Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, tentang stagnannya MoU PBNU dengan Kementerian Keuangan terkait penggelontoran dana kredit lunak untuk Usaha Mikro (UMI) di lingkungan jaringan ekonomi NU terlalu simplistis dan sederhana seolah olah sekedar salah paham dan mis-persepsi. Klarifikasinya dengan menyebut sejumlah koperasi pesantren telah mendapatkan bantuan kredit secara akumulatif sebesar 211 Milyar di luar konteks yang dipersoalkan Ketum PBNU di atas.
Kritik keras Ketum PBNU diatas bukanlah persoalan tanpa konteks.Penandatanganan MoU tanggal 23 Februari 2017 lalu di kantor PBNU di tanda tangani langsung oleh Ketum PBNU bersama tiga Menteri Kabinet Kerja periode pertama rezim Jokow, yakni Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Menteri Koperasi, Puspayoga dan Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara dengan lampu sorot sejumlah media mainstream yang tajam dan media media online lainnya menunjukkan keseriusan dan bukan basa-basi seremonial politik.
Penandatanganan MoU di atas dalam konteks momentumnya saat itu minimal dapat dimaknai dua hal penting :
Pertama, untuk mengirim pesan dan kesan ke ruang publik bahwa pemerintahan rezim Jokowi sangat peduli dan berpihak terhadap pemberdayaan ekonomi umat. Sebuah ikhtiar politis untuk mengcounter tuduhan bahwa rezim Jokowi hanya pro ekonomi konglomerasi para taipan pendukungnya yang disuarakan keras massa Islam dalam demontrasi bela Islam berjilid-jilid di seputar Istana Kepresidenan, jalan MedanMerdeka Barat, yang dipicu dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok), calon Gubernur petahana DKI Jakarta, saat itu, di back up penuh jaringan politik Jokowi.
Kedua, penandatanganan MoU di atas tak dapat dihindari tafsir politisnya dalam rangka menarik basis warga Nahdliyin untuk memenangkan Ahok dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta, April tahun 2017 lalu dan membingkai penguatan basis elektoral Jokowi menghadapi kontestasi Pilpres 2019. Sebuah model pencitraan marketing politik dan modus rezim Jokowi dengan menghadirkan tiga Menteri Kabinet Kerja sekaligus dalam acara penandatangan MoU tersebut.
Di sisi lain, penandatanganan MoU diatas justru menghadirkan limpahan caci maki, fitnah, hoax dan ujaran kebencian (hate speech) terhadap PBNU di mimbar- mimbar publik dan beragam platform media sosial dari sejumlah tokoh ormas Islam lain. Emha Ainun Nadjib, seorang intelektual dan budayawan terkenal pun hingga tak tertahan amarahnya menuduh NU dijual oleh pengurusnya.
Kritik keras Ketum PBNU di atas bukan dalam konteks merespon tuduhan-tuduhan dari berbagai pihak melainkan jawaban yang tersisa untuk menjawab tuntutan umatnya sendiri, warga Nahdliyin di akar rumput yang menagihnya bertubi-tubi tentang kapan realisasi MoU diatas dilaksanakan. Sebuah cara mengirim pesan keras di ruang publik untuk diperhatikan dan didengarkan secara sungguh-sungguh oleh kementerian-kementerian terkait dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM), kabinet periode kedua pemerintahan rezim Jokowi.
Itulah sikap dan tanggungjawab seorang ketua umum, pucuk pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia terhadap tuntutan umatnya, warga Nahdliyin. Bukan sikap dan kritik bersifat pribadi melainkan representasi suara warga Nahdliyin yang dipimpinnya, tidak dapat dipandang biasa-biasa saja sebagaimana terkesan dalam klarifikasi Menteri Keuangan Sri Mulyani dan konferensi pers juru bicara Kementerian Keuangan, Nufransa Wita Sakti. Perlu kearifan meresponsnya menghindari kesan NU ibarat tebu diambil manisnya dibuang ampasnya. Habis manis sepah dibuang.
Pembelaan KH. Imam Jazuli Lc, Pengasuh pesantren Bina Insan Mulia, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, terhadap kritik keras Ketum PBNU dan menghubungkan Sri Mulyani sebagai simbol negara oligarkhis kapitalistik yang tidak pro terhadap usaha mikro dan klarifikasi tertulis Ketua LPNU-PBNU, Jaenal Effendi, MA,yang menguatkan bahwa model pembiayaannya tidak sesuai konsep MoU semula yang di ditandatangani bersama terutama terkait afirmasi pricing untuk menjalankan usaha mikro dan minimnya koordinasi kementerian terkait dengan LPNU-PBNU menandai bahwa MoU diatas tidak didorong dengan intensi dan niat yang kuat untuk merealisasikannya.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas dengan paradigma Islam moderat dan puluhan juta pengikutnya telah terbukti tidak memiliki cacat historis dalam sejarah perjalanan bangsa terlalu besar untuk dipermainkan oleh siapapun meskipun mayorotas pengikutnya diam (silent majority), tidak melalukan show of force tekanan politik massa jalanan sebagaimana sering dilakukan masa Islam lain kecuali secara dadurat dipandang perlu seperti penolakan massif bergelombang terhadap rencana pemerintah menerapkan Full Day School yang merugikan eksistensi madrasah di lingkungan jaringan pendidikan NU.
Karena itu, untuk menghindari kegaduhan baru di ruang publik perlu duduk bersama kembali kementerian- kementerian terkait dengan jajaran PBNU untuk re-design ulang model pembiayaan usaha mikro sesuai dengan pricing yang pro-poor, pro-job dan pro-economic growth (pro pengentasan kemiskinan, pro penciptaan lapangan kerja dan pro pertumbuhan ekonomi), kecuali jika MoU diatas sekedar modus pencitraan dan basa-basi politik , habis pesta demokrasinya habis pula cerita sandiwara politiknya.
Semoga bermanfaat.
TAG#Indramayu, #PBNU, #Kementerian Keuangan, #Sri Mulyani, #Presiden Jokowi, #Jokowi
199951250

KOMENTAR