Pilkada dan Kesepakatan yang Ceroboh

Oleh : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Jakarta, Inako
Tulisan ini sedikit hendak menimbang beberapa kecerobohan terkait kesepakatan hasil rapat secara virtual antara Mendagri, Ketua komisi II DPR RI, KPU RI, Bawaslu RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), selasa 14 april 2021 yang memutuskan pilkada serentak digelar pada tanggal 9 Desember 2020, diundur beberapa bulan dari jadual semula, tanggal 23 September 2020 akibat pandemi Covid 19, yakni :
Pertama, kesepakatan di atas dilakukan sehari setelah Presiden menetapkan wabah Covid 19 sebagai bencana nasional non alam berdasarkan keputusan Presiden (Keppres) no.12 tahun 2020 tanggal 13 April 2020 tanpa tenggat batas akhir karena masa durasi pandemi corona sulit diprediksi kecuali sekedar simulasi perkiraan pemodelan yang dilakukan sejumlah pakar kesehatan masyarakat.
BACA JUGA:Indramayu , Warning KPK dan Wabah Covid 19
BACA JUGA: 129 terus meroket 988 kasus corona di South Dakota setelah Gubernur Menolak Tindakan Karantina
Inilah kecerobohan pertama, tidak sensitif memaksakan kontestasi pilkada dilaksanakan diatas luka lahir batin mayoritas publik yang dideritanya baik sisi kesehatan, sosial dan aspek ekonomi selama maupun pasca pandemi Covid 19 berakhir dalam proses pemulihan normalisasi sosial dan recovery ekonomi secara umum.
Kedua, dengan kesepakatan pilkada serentak dilaksankan tanggal 9 Desember 2020, secara regulatif rangkaian tahapan pilkada di mulai bulan Juni 2020, enam bulan sebelum hari pencoblosan. Artinya, tahapan pilkada dimulai kembali hanya beberapa hari setelah masa tanggap darurat Covid 19 berakhir pada tanggal 29 Mei 2020 jika permanen tidak dilakukan perpanjangan waktu.
Di sinilah titik kecerobohan kedua, yakni berrtaruh dengan resiko besar di antara tahapan pilkada yang mengundang partisipasi kerumunan publik berhadapan dengan masa transisi berakhirnya pandemi Covid 19,, tentu dengan resiko potensial memunculkan pandemi gelombang kedua sebagaimana diperkirakan sejumlah pakar kesehatan masyarakat akibat longgarnya publik menjaga jarak sosial.
Ketiga, cara pandang KPU RI membuka opsi perubahan teknis pilkada sesuai protokol pencegahan Covid 19 hingga kemungkinan metode pencoblosan via pos adalah pandangan sangat ceroboh bukan saja memandang pilkada sekedar ritual teknis politik dan kehilangan partisipasi publik, lebih dari itu, potensial melanggar asas LUBER yang diatur dalam UUD hasil amandemen tahun 2002. Pilkada akan kehilangan ruh partisipasi publik. Aspek yang mengundang kerumunan di satu pihak dan pihak lain coba dihindarinya atas atas nama protokol pencegahan Covid 19.
Di luar tiga hal kecerobohan di atas tentu masih banyak hal.lain yang patut dipertimbangkan ulang untuk pelaksanaan pilkada tanggal 9 Desember 2020 di atas demi menunjukkan kesungguhan negara mengatasi pandemi Covid 19, antara lain, urgensi realokasi dana pilkada untuk prioritas pencegahan Covid 19 dan proses transisi pemulihan sosial ekonomi publik yang traumatik pasca didera wabah dahsyat nyaris melumpuhkan sendi sendi kehiduoan.mereka selain mencegah politisasi banjirnya bantuan sosial atas nama Covid 19 untuk kepentingan calon petahana yang culas tapi.memiliki kemampuan menghindar dari delik hukum.
Karena itu, betapa pun pilkada penting dan konstitusional dalam proses rekruitmen kepemimpinan politik di daerah akan tetapi kontestasi pilkada harus diletakkan dalam konteks melindungi keselamatan dan kepentingan publik bukan untuk pesta politik kepentingan para elite. Di sinilah kesepakatan Mendagri, komisi II DPR RI dan lain lain di atas perlu ditinjau ulang sebelum disahkan dalam bentuk Perpu dan di sini pula urgensi titik panggil pimpinan partai politik untuk meletakkan kepentingan politiknya di bawah kepentingan keselamatan melindungi warga negara dari dahsyatnya pandemi.Covid 19.
Kekhawatiran terjadinya kekosongan kursi gubernur, bupati dan walikota akibat tertundanya pilkada dapat diisi pejabat pelaksana tugas oleh pejabat setingkat di atasnya sebagaimana telah diatur dalam undang undang. Kasus penunjukan Bung Karno sebagai "Waliyul Amri adhorury bil syaukah",. yakni pemimpin darurat (sementara) dengan kekuasaan penuh karena maraknya pemberontakan dan instabilitas negara hingga tidak memungkinkan dilaksanakan pemilu dapat dijadikan salah satu rujukan dari kearifan politik penundaan pilkada hingga publik benar benar telah pulih lahir batin dari dampak covid 19.
Penulis sungguh berharap kepada Mendagri dan Komisi II DPR.RI dalam.konteks pelaksanaan pilkada serentak 2020 berpegang pada kearifan pandangan pesantren,yakni "Dar ul mafasit muqaddam 'ala jalbil.masolih", bahwa mencegah terjadinya kemungkinan kerusakan dan mafsadat dari dampak corona harus menjadi tindakan prioritas dibanding manfaat yang dapat diambil dari proses pilkada. Kesungguhan negara untuk.melindungi warganya dari pandemi Covid 19 dengan segala dampak kesehatan, sosial dan ekonomi turunannya jauh lebih bermartabat dibanding memaksakan pilkada yang dapat ditunda pelaksaannya dalam situasi yang lebih normal dinamika interaksi sosialnya.
Semoga bermanfaat.
TAG#ADLAN DAIE, #INDRAMAYU, #PILKADA
190329152

KOMENTAR