Transparansi Anggaran Belum Dilaksanakan

Hila Bame

Friday, 29-11-2019 | 00:47 am

MDN
Andre Wenas

Oleh : Andre Vincent Wenas,DRS,MM,MBA

 

Jakarta, Inako

 

Pemerintah daerah sebagai pelaksana (eksekutif) dalam konsep Trias Politika, secara substansial bisa dibilang belum melaksanakan fungsi dan kewajibannya dalam mengelola dana publik (uang rakyat).

 

 

 

Hal ini terungkap juga dalam video viral yang diunggah anak muda Sulut yang tergabung dalam Voxdoc. Di video yang akhir-akhir ini viral Sheryl Audrey, redaksi Voxdoc menyatakan bahwa transparansi anggaran di propinsi Sulawesi Utara belumlah transparan! (videonya bisa dilihat di dua channel youtube: https://www.youtube.com/watch?v=zft6DwCCir4 berjudul Alerta : Transparansi Anggaran Belum Dilaksanakan?

Dan https://www.youtube.com/watch?v=oyN6Qf2GpjM&feature=youtu.be berjudul Alerta : Anggaran baju dinas lebih besar dari beasiswa dan program ODSK, waras?)

Mereka yang tergabung dalam Voxdoc ini boleh dibilang adalah generasi muda Sulawesi Utara yang kritis, dan mereka adalah generasi milenial yang bisa diharapkan memberi kontribusi positif dalam era emas bonus demografi Indonesia sebentar lagi.

Sementara banyak anggota legislatif (sebagai pengawas dalam trias politika) justru seringkali bertindak sebagai humas dari eksekutif, banyak legislator di DPRD (dan DPR RI) yang impoten daya kritisnya. Entah karena terkooptasi dan terjebak dalam aksi bancakan APBD atau terlibat konspirasi lainnya. Anak-anak muda ini justru berteriak lantang dengan didukung data dan daya analisa kritis yang berbobot.

Dalam dua video Voxdoc yang viral itu disinyalir adanaya kenjanggalan-kejanggalan dalam anggaran APBD Sulut di tahun 2017 dan 2018. Mengapa mengritisi anggaran di tahun yang sudah lewat? Karena untuk tahun berjalan 2019 dan rencana tahun 2020 tidak ada akses untuk publik di laman resmi pemda! Jadi Voxdoc mencoba mengritisi anggaran di tahun 2017 dan 2018 untuk melihat pola pendistribusian anggaran yang dilakukan eksekutif dengan persetujuan legislatif (DPRD)nya waktu itu.

     Latar belakang yang memicu tentu peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Jakarta.  Fenomena William Aditya Sarana (dari fraksi PSI) yang menyoroti aneka kejanggalan dalam perencanaan anggaran di DKI Jakarta memantik pertanyaan yang sama, apakah kejanggalan yang sama juga berpotensi terjadi di daerah lain? Transparansi adalah keniscayaan, tidak hanya untuk memastikan tiadanya kejanggalan tapi juga agar publik bisa mengawasi realisasinya. Keterbukaan akses informasi dan dokumen perencanaan serta penganggaran adalah salah satu indikator dari transparansi. Karenanya anak-anak muda di Voxdoc mulai mencoba untuk melacak dokumen-dokumen tersebut.

     Hasil pelacakannya, berdasarkan realisasi anggaran di 2017 dan 2018, anggaran untuk pengadaan baju dinas dimasing-masing SKPD dinilai sangat besar.  Di tahun 2017 lalu, ada anggaran berjudul Pendekatan Disiplin Aparatur, dengan sub-program: pengadaan pakaian di setiap SKPD, dan pada Dinas Pendidikan jumlahnya Rp. 2.526.000.000,- (dua milyar lima ratus dua puluh enam juta rupiah) untuk 230 pasang pakaian dinas dan perlengkapannya, atau harga satu pakaian dinas adalah Rp.10.981.000,- (sepuluh juta sembilan ratus delapan puluh satu ribu rupiah).

     Dan di tahun 2018, anggarannya Rp.5.965.000.000,- (hampir enam milyar) untuk 6000 pasang pakaian khusus hari-hari tertentu. Artinya setiap pasang pakaian dinas ini bernilai Rp.994.000,- (hampir satu juta rupiah).

     Bahkan di dinas pendidikan, jumlahnya lebih besar dari beasiswa dan program ODSK (Operasional Daerah Siswa Kesetaraan) yang dicanangkan ODSK (Gub & Wk.Gub). Ini sebetulnya program yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Ditengah carut marutnya kondisi pendidikan di Sulawesi Utara, program peningkatan SDM pendidikan hanya memperoleh Rp.1.008.000.000,- (satu milyar lebih sedikit). Sedangkan untuk Operasional Daerah Siswa Kesetaraan (bea siswa keluarga tidak mampu/miskin) cuma Rp. 53 juta,- dan Rp. 56 juta untuk program pendidikan layanan khusus bagi 500 siswa, atau hanya Rp. 112 ribu setiap siswa.

     Ini terjadi di 2017 dan bahkan terjadi peningkatan di 2018, akankah terulang di 2019 dan 2020? Hanya dokumen APBD yang bisa membantu kita menjawabnya. Tapi sudahkan dokumen APBD bisa di akses oleh publik? Hanya pemangku kebijakan yg bisa menjawabnya.

     Pertanyaan ini tentu mesti direspon positif oleh pemangku kebijakan. Kerisauan rakyat yang diwakili kaum muda Voxdoc (http://voxdoc.id ) patut digaungkan demi pendidikan politik yang sehat dan mendewasakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Vox Populi (suara rakyat) adalah Vox Dei (suara Tuhan) begitu kata pepatah bijak.

*) Andre Vincent Wenas,DRS,MM,MBA. dosen, konsultan & politisi PSI (Partai Solidaritas Indonesia)

TAG#Andre Vincent Wenas, #PSI

190325687

KOMENTAR