Harga Minyak Dunia Melemah: Dipicu Stok AS Melimpah

Sifi Masdi

Thursday, 05-06-2025 | 10:28 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak dunia mencatat penurunan lebih dari 1% setelah rilis data terbaru menunjukkan lonjakan signifikan dalam persediaan bahan bakar di Amerika Serikat. Kenaikan drastis stok bensin dan solar ini terjadi di tengah rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi, yang semakin menekan sentimen pasar.

 

Mengutip laporan Reuters, Kamis (5/6/2025), harga minyak mentah jenis Brent turun sebesar 77 sen atau 1,2% menjadi US$64,86 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal AS melemah 56 sen atau 0,9% ke level US$62,85 per barel.

 

Penurunan harga ini sebagian besar dipicu oleh laporan Badan Informasi Energi AS (EIA) yang mencatat lonjakan stok bensin sebesar 5,2 juta barel—jauh di atas perkiraan analis yang hanya sebesar 600.000 barel. Selain itu, stok bahan bakar sulingan, termasuk solar, naik sebesar 4,2 juta barel, juga melebihi ekspektasi kenaikan sebesar 1 juta barel.

 

Meskipun persediaan minyak mentah AS justru turun 4,3 juta barel (lebih besar dari perkiraan penurunan 1 juta barel), hal ini belum cukup untuk mengangkat harga minyak. Analis UBS, Giovanni Staunovo, menyebut laporan tersebut "bearish" karena akumulasi besar produk olahan menunjukkan melemahnya permintaan bahan bakar.

 


BACA JUGA:

Rekomendasi Saham Pilihan: Kamis (5/6/2025)

Harga Emas Kembali Melonjak: Dipicu Ketidakpastian Global

Harga Minyak Dunia Melonjak: Dipicu Ketegangan Geopolitik


 

“Ada peningkatan signifikan dalam permintaan kilang terhadap minyak mentah, yang memicu penarikan besar dari stok. Namun setelah libur Memorial Day, peningkatan pasokan dan permintaan yang tersirat lebih lemah telah menyebabkan stok produk olahan meningkat tajam,” jelas Staunovo.

 

Selain faktor stok AS, rencana OPEC+ untuk menambah produksi sebesar 411.000 barel per hari mulai Juli juga membebani pasar. Padahal, dua hari sebelumnya harga minyak sempat menguat hingga 2% karena kekhawatiran pasokan dan potensi penolakan Iran terhadap kesepakatan nuklir dengan AS yang dapat memperlambat pelonggaran sanksi.

 

Di sisi lain, Rusia melaporkan penurunan pendapatan minyak dan gas sebesar 35% pada Mei 2025. Hal ini berpotensi membuat Moskow lebih mendukung kebijakan peningkatan produksi OPEC+ meskipun dapat menekan harga lebih lanjut.

 

Lemahnya permintaan juga berkaitan dengan kondisi ekonomi global. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang agresif terhadap China dinilai turut memperburuk prospek ekonomi, khususnya di Amerika Serikat.

 

Trump dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan berbicara dalam beberapa hari ke depan, setelah Trump menuding Beijing melanggar kesepakatan penghapusan tarif dan pembatasan perdagangan. Dalam laporan terbarunya, Federal Reserve juga mencatat bahwa aktivitas ekonomi AS melambat dan tarif tinggi telah memberikan tekanan pada biaya dan harga.

 

Situasi geopolitik pun ikut memperkeruh suasana. Presiden Rusia Vladimir Putin menekan Trump agar merespons serangan drone Ukraina yang menargetkan armada pembom strategis Rusia dan serangan terhadap infrastruktur penting, yang dituding dilakukan oleh Kyiv.

 

Sementara itu, sebagian operasi minyak di Kanada yang sempat terhenti akibat kebakaran hutan, mulai kembali berjalan. Canadian Natural Resources melaporkan bahwa lokasi produksi Jackfish 1 di Alberta utara telah beroperasi kembali setelah dinyatakan aman dari kebakaran. Sebelumnya, kebakaran hutan telah memangkas produksi minyak Kanada hingga sekitar 344.000 barel per hari.

 

Secara keseluruhan, analis pasar melihat ruang kenaikan harga minyak cukup terbatas. “Kami memperkirakan potensi kenaikan harga tetap terbatas karena kekhawatiran akan kelebihan pasokan dan melambatnya pertumbuhan permintaan global,” ujar Ole Hansen dari Saxo Bank.

 

 

KOMENTAR