Memahami Kebijakan Dedi Mulyadi Mengganti Nama RS AL Ihsan Menjadi RS Welas Asih

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Dalam sudut pandang penulis tidak ada hal prinsip untuk dipersoalkan secara keagamaan (Islam) terkait penggantian nama rumah sakit milik Provinsi Jawa Barat, berlokasi di kab Bandung, yakni RSUD "Al Ihsan" menjadi RSUD "Welas Asih".
Ketua Umum Forum Ulama Umat Islam (FUUI), K.H.Athian Ali. M. Dai tidak perlu khawatir berlebihan dengan menolak keras kebijakan Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, mengganti nama RSUD "Al Ihsan" menjadi RSUD "Welas Asih".
Penggantian nama RSUD di atas meskipun menonjolkan kearifan lokal "Sunda", mayoritas etnik di Jawa Barat, tdak akan menghilangkan nilai filosofi Islam yang melekat pada nama "Al Ihsan" sebagaimana kekhawatiran berlebihan Ketua Umum FUUI tersebut ("Hidayatulah.com", 4/7/2025).
Demikian pula Ketua Aliansi Pergerakan Islam Jawa Barat , disingkat "API Jabar", Ustadz Asep Syaripudin tidak perlu keras keras menolak penggantian nama RSUD "Al Ihsan" menjadi RSUD "Welas Asih" sehingga melontarkan ancaman begini :
"Jangan main main dengan wilayah yang sensitif ini. Kami dari aliansi masyarakat Jawa Barat bersama para ulama dan tokoh masyarakat akan terus menyuarakan penolakan ini", ujarnya tegas ("suaraislam",4/7/2025)
Tulisan singkat ini bukan tentang pembelaan terhadap kebijakan Dedi Mulyadi mengganti nama RSUD "Al Ihsan" milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, berlokasi di kab bandung, diganti dengan nama RSUD "Welas Asih.
Ini tentang cara pandang bagaimana meletakkan Islam tidak selalu dibaca secara konfliktual' dan "head to head" berhadap hadapan dengan budaya lokal, dalam hal ini budaya "Sunda", mayoritas etnis di Jawa Barat.
Dalam perspektif Gus Dur, Islam datang bukan untuk mengganti budaya leluhur kita menjadi budaya arab. Islam tidak selayaknya menjadi "alat pukul" untuk menghakimi "musyrik" kebudayaan lokal. Islam tidak dipertentangkan dengan simbol simbol kearifan lokal.
"Pertahankan apa yang menjadi milik kita, kita serap ajaran Islamnya, bukan budaya arabnya", kata Gus Dur, sebuah konsep konvergensi keislaman dalam titik temu dengan budaya lokal - yang kelak disebut "Pribumisasi Islam".
Dalam konstruksi dan cara pandang keislaman inilah kita membaca penggantian nama RSUD "Al Ihsan" menjadi RSUD "Welas Asih", bukan untuk merubah nilai ajaran Islam melainkan ekspresi bahasanya "dipribumisasikan" dalam budaya lokal "Sunda".
Dengan kata lain, penggantian nama RSUD tersebut tidak perlu dikhawatirkan berlebihan akan menghilangkan filosofi Islam. Dalam konsepsi Islam Gus Dur ini adalah proses "Pribumisasi Islam" dalam konteks budaya lokal Sunda.
Di Jawa Barat dalam dua dasawarsa terakhir pasca reformasi terdapat kecenderungan menguatnya narasi narasi memahami agama (Islam) secara monolitik, ekslusif dan radikal.
Momentumnya saat demonstrasi besar besaran atas nama "Bela Islam' di Jakarta tahun 20116 dengan suplay massa Islam terbesar dari Jawa Barat Jelang pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Inilah puncak politik populisme Islam.
Intensitas dan tingkat kegairahannya makin tinggi bersamaan dengan massifnya penetrasi media sosial masuk ke ruang ruang privat warga membawa konten konten ideologi agama "trans nasional", lintas teritorial negara.
Fenomena ini membentuk pemahaman tentang Islam dengan semangat "ideologis" dengan rujukan "tekstual" Al Qur an bahwa "Islam adalah agama paling sempurna mengatur seluruh "sistem" kehidupan (Q.S. Al Maidah, 3)
Islam diletakkan sebagai "sistem" sosial alternatif mengatur sepenuhnya sistem kehidupan mulai sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain lain bersifat monolitik dan "oposisi" terhadap ideologi politik dan budaya lain yang beragam.
Bahaya dari cara pandang formalisme Islam sebagai "sistem" sosial adalah bertumbuhnya proses "arabisasi" atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya "arab" sehingga kita tercerabut dari akar kekayaan budaya sendiri.
Dari sini hulu menguatnya "Islam politik" dengan tampilan ekspresi sosial budaya "paling syar'i" lalu dengan mudah melabeli pihak lain di luar kelompoknya sebagai "thaghut", anti Islam dan "kafir".
Fenomena sosial keislaman di atas harus "dimoderasi", sekali lagi, bukan persoalan untuk membela Dedi Mulyadi dari tuduhan "kafir" dan anti islam oleh sekelompok ormas Islam tertentu melalui sejumlah kanal dan platform media sosial
Tekanannya adalah tentang cara pandang Islam tidak dibenturkan dengan budaya dan kearifan lokal sehingga tidak menjadi konflik sosial yang tajam, sangat membahayakan sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian dalam konteks yang lebih luas penggantian nama RSUD di atas dari "Al Ihsan" menjadi RSUD "Welas Asih" bukan sekedar penonjolan budaya kearifan lokal "Sunda"
Tapi lebih jauh dapat dimaknai sebagai proses integrasi kebangsaan dalam keragaman spektrum nilai nilai Pancasila, sebuah konsensus final arah kiblat bangsa. Pancasila sebagai kesepakatan final kebangsaan.
(Alm) Prof Dr. Nurcholis Madjid, sering disapa "Cak Nur" dalam bukunya "Keislaman, Keindonesiaan Dan Kemodernan" menyebut Pancasila sebagai "kalimatun sawa'", Pancasila adalah titik temu keragaman dalam keindonesiaan.
Itulah perspektif kebangsaan yang ditekankan Bung Karno, "Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang Islam jangan jadi orang arab, kalau jadi kristen jangan jadi orang yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini", ujar Bung Karno.
Perspektif Bung Karno di atas meletakkan agama agama dalam "taman sari" keragaman budaya Nusantara sehingga dalam kontek Islam kata Bung Karno, "Ambil apinya, buang abunya, ambil spirit Islamnya, buang budaya arabnya", dalam bukunya "Api Islam"
Dengan kata lain, Islam tidak dipahami selalu dengan semangat "ideologis", Islam tidak diletakkan sebagai ideologi alternatif yang dipertentangkan secara "head to head" dengan ideologi kebangsaan lain.
Islam adalah sistem nilai keadilan, kesetaraan dan keadaban yang dapat diinjeksikan dalam keragamaan sistem dan budaya lain, sebuah transformasi nilai dalam konteks keraragaman kebudayaan
Dalam konstruksi dan cara pandang keislaman seperti inilah, sekali lagi, kita dapat memahami bahwa perubahan nama RSUD "Al Ihsan" menjadi RSUD "Welas Asih" tidak memiliki masalah prinsip apapun secara keagamaan dalam konteks Islam sekalipun
Hanya dengan meletakkan Islam dalam akomodasi kebudayaan lokal - tentu sejauh tidak masuk ke wilayah aqidah dan norma peribadatan -; integrasi kebangsaan kita akan kokoh dan kuat dalam tali ikat kohesi sosial.
Meskipun begitu, catatannya dalam konteks Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, tentu tidak selalu fasilitas publik di Jawa Barat dengan nama "Arab" harus diganti dengan nama lain yang lebih "nyunda". Aspek urgensi dan maslahat publik harus dipertimbangkan secara seksama.
TAG#DEDI MULYADI, #ISLAM
201904848

KOMENTAR