Nasib NU Pasca Pilpres 2019

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Sebagai organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam'iyah diniyah wal ijtima'iyah), Nahdlatul Ulama (NU) sebagaimana digambarkan Martin Van brunessien dalam bukunya, _NU : "Tradisi dan Relasi-relasi Kuasa" telah teruji kematangan dan kedewasaan politiknya dalam dinamika perjalanan sejarahnya.
Pandangan kritis sebagian kiai besar di Jawa Timur, basis utama NU, terhadap Jokowi dan cibiran pihak lain terhadap NU pasca pengumuman Kabinet Indonesia Maju (KIM) sama sekali tidak menggoyahkan kesetiaan NU terhadap pilar-pilar kebangsaan : Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. NU tidak sekalipun memiliki cacat sejarah pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah meskipun sangat panjang ditekan secara terstruktur, sistemik dan massif di era rezim Orde Baru yang otoritarian militeristik.
Memang, terus terang, tak dapat dipungkiri, di luar dugaan banyak pihak dan pemerhati politik, penyusunan Kabinet Indonesia Maju (KIM) dibawah kepemimpinan Jokowi-KH Ma'ruf Amin, nihil representasi perwakilan NU. Jatah Kementerian Agama pun yang sejarah pembentukannya di era penjajahan Jepang tidak dapat dilepaskan dari inisiatif awal NU dan selama ini nyaris identik dengan NU kini tidak lagi dari representasi NU, moderasi terbesar umat Islam dalam struktur bangsa Indonesia.
Dari sinilah muncul sinisme membatin dan membuncah bahwa NU hanyalah ibarat tebu diambil manisnya dibuang ampasnya. Hanya luka dalam yang tersisa akibat konfrontasi narasi yang sangat keras dengan jaringan muslim perkotaan dan urban secara head to head untuk mempertahankan basis elektoral Jokowi-KH Ma'ruf Amin yang tak jarang acapkali dicibir warga NU sendiri di level akar rumput.
Selama ini analisis yang bekembang di ruang publik nihilnya representasi NU dalam formasi Kabinet Indonesia Maju (KIM), tidak berbanding lurus dengan keringat jaringan-jaringan elektoral ke-NU-an yang oleh sebagian pengamat politik disebut the strong voters, penentu kemenangan elektotal Jokowi, selalu dikaitkan dengan representasi KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres yang ditunjuk Jokowi. Secara kalkulatif dibayangkan sama dengan representasi NU untuk enam fortofolio kementerian.
Perspektif, analisis dan cara pandang di atas sangat keliru meletakkan KH Ma'ruf Amin "tunjukan" Jokowi dalam konteks representasi NU sebagai cawapresnya. Perspektifnya harus diletakkan dalam cara pandang sebagai bagian dari strategi politik Jokowi, sebagai titik simpul untuk menghimpun dukungan elektoral dari jaringan ke-NU-an untuk memastikan keunggulan elektoralnya sekaligus segmen sosial yang paling tepat dari sisi representasi keagamaan menghadapi resistensi dan penolakan keras jaringan muslim perkotaan yang meragukan ke-Islaman Jokowi.
Tentu, meskipun sangat mengagetkan dan di luar dugaan nalar sehat politik, nasib NU sama sekali tidak ditentukan jumlah representasinya dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM). Daya jangkau dakwahnya, kontribusi kebangsaannya dan doktrin ke-Islamannya betapa pun tidak di back up jaringan kekuasaan akan terus tumbuh dan berkembang. Bersinergi secara akulturatif dengan kearifan-kearifan lokal masyarakatnya. Menjadi kekuatan kultural bagi basis keragaman sosial bangsa Indonesia.
Justru tanpa NU pemerintah rugi besar. Ikhtiarnya menangkal trend penguatan radikalisme dan intolerasi tanpa NU hanya akan berkutat dengan pendekatan security yang serba militeristik dan bersifat lahiriyah, sekedar melahirkan sensasi kegaduhan di ruang publik, tidak menjangkau suasana kebatinan umat, antara lain, salah satunya bersumber dari pemahaman keagamaan Menteri Agama yang sangat terbatas, minimalis dan tidak lahir dari rahim moderasi Islam terbesar di Indonesia.
Dalam pandangan penulis, urusan pembentukan kabinet dan penunjukan pembantu-pembantu lainnya tidak sekedar urusan hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Presiden tidak kedap kritik dan semaunya menunjuk, misalnya, sejumlah staf khusus Presiden seluruhnya dari generasi milenial seolah-olah urusan bangsa hanyalah urusan milenialisme.
Penunjukan Basuki Tjahja Purnama (BTP) menjadi Komsaris Utama BUMN Pertamina dengan hitungan gaji dan fasilitas yang akan diterimanya setiap bulan sebesar 3,2 milyar, dibranding dan dicitrakan begitu rupa seolah-olah tanpa BTP akan runtuh bangsa ini. Di sisi lain, abai dan tidak 'tenggang rasa" atas kemungkinan BTP akan menjadi sumber kegaduhan baru karena miskin etika, komunikasi yang ugal-ugalan di ruang publik.
Presiden perlu menimbang ulang formasi, proporsi dan representasi kabinet dan pembantu-pembantu lainnya. Langkah resuffle secepatnya harus meletakkan representasi NU (dan Muhammadiyah) dalam proporsi kabinet dan perangkat pembantu lainnya secara wajar.
Terlalu mahal harga bangsa ini mengabaikan secara tidak proporsional representasi dua ormas Islam terbesar di Indonesia dalam struktur pemerintahan. NU dan Muhammadiyah adalah representasi terbesar dalam struktur sosial bangsa kita, jauh lebih berharga dari sekedar gimmich generasi milenial, sokongan kaum profesional, para tuan pemilik modal, para god father oligarkhi politik dan para tuan pemilik media-media mainstream.
TAG#Indramayu, #NU, #Presiden Jokowi
190327386

KOMENTAR